Kamis, 04 Desember 2008

AZAS HUKUM PIDANA

KEMUNGKINAN PEMBERLAKUAN KETENTUAN HUKUM
SECARA SURUT (RETROAKTIF) DALAM HUKUM PIDANA
(Analisis Filsafat, Yuridis dan Sosiologis)


A. LATAR BELAKANG
Asas legalitas adalah asas tentang batas berlakunya hukum pidana dari segi waktu. Asas ini mengajarkan bahwa tidak ada perbuatan pidana, dan juga tidak ada pidana, kecuali atas dasar kekuatan peraturan yang telah mengaturnya, sebelum perbuatan tersebut dilakukan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali). Rumusan asas ini, menurut Moeljatno, mengandung tiga makna, salah satunya adalah larangan pemberlakuan suatu peraturan pidana secara surut, yang kemudian dikenal dengan asas non-retroaktif atau non-retrospektif.[1]
Di antara tujuan terpenting dari adanya asas legalitas adalah untuk menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) dan menghindari penyalahgunaan hukum pidana oleh penguasa. Bila tidak ada asas legalitas, maka kepastian hukum menjadi sangat lemah. Sesuatu yang tadinya legal saat dilakukan, dapat kemudian dianggap sebagai hal yang ilegal berdasarkan suatu peraturan baru. Lebih jauh lagi, keadaan yang seperti ini memberi kesempatan bagi kesewenang-wenangan penguasa untuk menyalahgunakan hukum pidana sebagai alat untuk menghukum setiap perbuatan yang tidak disukainya.
Hukum pidana harus memiliki garansi ganda, yaitu memberikan garansi bahwa warga terlindungi dengan hukum (protected by the law), sekaligus juga terlindungi dari hukum (protected from the law). Makna dari fungsi melindungi dari hukum (protected by the law) adalah melindunginya dari penghukuman yang dilakukan dengan sewenang-wenang atau diluar proporsi yang semestinya (protects citizens from being punished arbitrarily or out of all proportion).[2] Sebagai wujud garansi bahwa warga terlindungi dari hukum, maka non-retroaktif yang tadinya merupakan asas dalam hukum pidana, pada akhirnya berkembang menjadi semacam hak individu, yaitu ‘hak untuk tidak dituntut dengan peraturan hukum pidana yang berlaku surut’ (the right to protection from retroactive criminal law), yang kini ini telah diakui secara umum.[3]
Meskipun asas non-retroaktif telah diterima secara umum, bahkan kemudian menjadi hak individual warga negara, tapi ternyata dalam prakteknya ada beberapa hukum pidana di Indonesia, yang telah mengabaikan, atau setidak-tidaknya, telah mengelakkan pemberlakuannya – dalam beberapa kasus tertentu. Artinya (ada beberapa) dalam hukum pidana Indonesia, terjadi pengesampingan asas non-retroaktif, yang berarti memberlakukan aturan pidana secara retroaktif.
Penyimpangan asas legalitas setidak-tidaknya telah terjadi dalam dua kasus: kasus pelanggaran HAM berat dan kasus terorisme. Dalam kasus pelanggaran HAM berat, hampir bisa dikatakan sedikit sekali orang yang mempermasalahkan pemberlakuan UU tersebut secara retroaktif. Kalaupun ada kritik-kritik, maka kritik yang diajukan terhadapnya hanya berkaitan dengan masalah teknis, bukan pada substansinya.
Dalam kasus terorisme, pemberlakuan UU No.15 Tahun 2003 yang diberlakukan secara surut (retroaktif) untuk menangani kasus bom Bali berdasarkan UU No. 16 Tahun 2003, ternyata menimbulkan perdebatan. Pemberlakuan UU No.15/2003 terhadap kasus bom Bali secara retroaktif tersebut terus menjadi bahan perdebatan, sampai kemudian Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada tanggal 23 Juli 2004 secara resmi membatalkan UU No.16/2003 yang menjadi dasar pemberlakuan UU No. 15/2003 secara retroaktif untuk kasus bom Bali.
Perkembangan yang ada menunjukkan bahwa ternyata telah ada semacam kecenderungan untuk tidak lagi menganggap asas legalitas – yang salah satu isinya adalah prinsip non-retroaktif – sebagai sebuah asas yang harus berlaku mutlak. Kecenderungan ini muncul karena berkembangnya berbagai macam kejahatan jenis baru yang seringkali tidak terduga sebelumnya pada saat penyusunan undang-undang dan kejahatan tersebut tidak bisa ditangani secara baik dengan, atau bahkan tidak terjangkau oleh, aturan hukum yang sudah ada.[4] Alasan lainnya, pemberlakuan asas legalitas yang terlalu ketat dianggap sangat kental dengan nuansa individualisme, sehingga kurang melindungi masyarakat sebagai suatu kolektivitas.[5] Padahal bila bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan suatu kesatuan sistem yang bertujuan (purposive system) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka tujuan hukum pidana hendaknya bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu ‘perlindungan masyarakat’ dan ‘perlindungan/pembinaan individu’.[6]
Bila merujuk pada Pasal 28 I Amandemen ke-2 UUD 1945, maka asas retroaktif jelas merupakan hal yang terlarang,
karena melanggar hak konstitusional warga negara yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable right). Namun bila dilihat sejarahnya, ketentuan redaksi Pasal 28 I tersebut ternyata pernah menjadi kontroversi dalam pembahasannya, meskipun pada akhirnya bisa disahkan.[7] Demikian juga jika merujuk pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menganut asas ‘legalitas formil,’ penerapan asas retroaktif juga bertentangan dengannya. Tapi Pasal 1 ayat (1) KUHP ternyata juga bukan pasal yang disepakati perlunya di Indonesia, sebab ada pula beberapa pakar yang tidak setuju bila pasal itu tetap dipertahankan apa adanya sebagaimana dulu Belanda mewariskannya.[8]
Demikianlah, disamping adanya praktek penerapan asas retroaktif yang bisa diterima umum, dasar hukum yang melarang penerapan asas retroaktif ternyata tidak ‘steril’ dari perdebatan para pakar. Keadaan ini tentu semakin mengaburkan bagaimana sebenarnya kedudukan asas retroaktif dalam hukum pidana. Sedangkan di sisi lain, penerapan asas retroaktif telah nyata-nyata terjadi – dan mungkin akan terus terjadi –dalam hukum pidana Indonesia.
Ketika asas retroaktif diterapkan, ketidakjelasan kedudukan asas retroaktif ini mengakibatkan munculnya kontroversi yang tidak kunjung berakhir. Ada beberapa pihak yang menganggapnya terlarang, tapi ada pula yang menganggapnya boleh dengan disertai batasan-batasan. Selain itu, dasar pemikiran yang dapat menjadi justifikasi teoritis bagi penerapan asas retroaktif juga belum jelas. Akibatnya, ada kasus penerapan asas retroaktif yang bisa diterima umum, dan ada pula kasus penerapan yang menimbulkan kontroversi hebat, sebagaimana telah dipaparkan di atas.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang ada dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah kemungkinan pemberlakuan ketentuan hukum secara surut (retroaktif) dalam hukum pidana, dan apa dasar pemikiran yang memberikan justifikasi bagi kemungkinan pemberlakuan ketentuan hukum secara surut (retroaktif) tersebut?

C. PEMBAHASAN
SEJARAH DAN SPIRIT ASAS LEGALITAS
Beberapa pemikir, seperti Apeldoorn dan Van Schravendijk, mengatakan bahwa asas ini berasal dari Montesquieu dan disempurnakan oleh Feuerbach.[9] Namun ada yang mengatakan bahwa asas ini tidak ada dalam buku Montesquieu yang berjudul L’ Esprit des Lois, tapi dibuat oleh Feuerbach.[10]
Memang benar bahwa maksud ajaran ‘trias politica’[11] Montesquieu ialah melindungi kemerdekaan (pribadi) individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak negara. Asas nullum delictum juga memiliki tujuan yang sama, yaitu melindungi individu terhadap perlakuan sewenang-wenang dari pihak peradilan arbitrer, yang pada zaman revolusi Perancis menjadi kenyataan yang agak umum di negara Eropa Barat. Tapi anggapan ini tidak benar. Paling jauh dikatakan bahwa ajaran Montesquieu, John Locke, Rosseau, Voltaire, Bacon, Jeremy Bentham, Beccaria, dan lain-lain, hanya mempersiapkan (voorbereiden) penerimaan asas nullum delictum.[12] Sedangkan yang menciptakan rumus nullum delictum adalah von Feuerbach, seorang kriminolog penganut aliran Kantian dan penentang Histrorische Rechtschule-nya Friedrich Carl von Savigny.[13]
Maksud dari Montesquieu adalah melindungi manusia terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan (pribadi) individu terhadap tuntutan pidana yang tidak dilakukan sewenang-wenang. Maksud Feuerbach adalah membatasi hasrat manusia untuk membuat kejahatan. Von Feuerbach beranggapan bahwa ancaman hukuman (strabedreiging) akan menahan manusia melakukan kejahatan. Teori ini kemudian dinamai teori prevensi umum (leer van de generale preventie, teori penjagaan umum) atau ‘psychologische Zwang’ (paksaan psikologis, tekanan kejiwaan).[14] Sedangkan Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa perbedaan asas legalitas Feurebach dan de la legalite’ Montesquieu adalah: Montesqueiu (dan juga Rosseau, Beccaria, dan lain-lain) menentang kesewenang-wenangan penguasa di segala lapangan, sedangkan von Feuerbach khusus menentang peradilan arbitrair di lapangan hukum pidana.[15]
Terlepas dari perdebatan para ahli seputar asal-usul asas legalitas dan stressing ajaran masing-masing, di antara rumusan Montesquieu dan Feuerbach tetap ada kesamaan, yaitu mereka sama-sama menghendaki hukum yang tertulis dan sama-sama menentang kekuasaan yang sewenang-wenang. Apabila sikap mereka ini dilacak ke belakang dengan menelusuri keadaan sosial, politik, dan hukum saat mereka hidup, maka akan tampak bahwa sikap keras yang mereka ambil untuk membela hak-hak individu merupakan sikap yang wajar untuk saat itu, sebab memang kondisi ketika mereka hidup menuntut mereka harus bersikap demikian dalam menentang kekuasaan yang tiranis.
Menyikapi keadaan yang seperti itu, kaum pertengahan (bourgeoisie) mulai berpikir bagaimana caranya lepas dari keadaan yang seperti itu, sehingga dapat tercapai keadilan sosial.[16] Pada tahun 1748, permasalahan itu dipecahkan oleh Montesquieu dalam bukunya De L’ Esprit des Lois yang mengandung ajaran ‘trias politika’. Ajaran ini menghendaki pemisahan tiga kekuasaan, yaitu parlemen, pemerintah, dan kehakiman. Ketiga badan ini membatasi kekuasaan mereka satu sama lain, dan dari situlah terjamin hak-hak rakyat terhadap pemimpin negara. Kekuasaan kehakiman tidak boleh menentukan perbuatan mana yang dihukum; tugasnya hanyalah memutus apakah suatu perkara bertentangan dengan undang-undang yang dibuat oleh Parlemen. Hakim diwajibkan semata-mata berpegang secara strict (ketat) pada undang-undang.
Berangkat dari keadaan seperti inilah, maka tidak heran bila ajaran Montesquieu mendapatkan sambutan hangat dan terus dikembangkan oleh para pemikir dan filosof lainnya, di antaranya adalah von Feuerbach, sang perumus asas nullum delictum yang oleh beberapa ahli dikatakan sebagai penyempurna ajaran Montesquieu.
Dari paparan di atas jelas bahwa ajaran tentang asas legalitas lahir pada saat rakyat sedang berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang otoriter. Asas legalitas dianggap sebagai salah satu cara untuk membatasi kekuasaan yang ada, agar tidak bersikap sewenang-wenang terhadap warganya. Oleh karena itu, bila Montesquieu dan von Fuerbach lebih menitikberatkan perhatiannya kepada individu, hal tersebut merupakan sesuatu yang alamiah, mengingat tuntutan keadaan pada saat itu. Van Schravendijk bahkan dengan tegas mengatakan bahwa asas legalitas lahir pada saat kepentingan individu, pada khususnya terdakwa, dianggap lebih penting dari pada kepentingan masyarakat, yakni ketertiban umum.[17]
Seiring perjalanan sejarah, asas legalitas ini terus mengalami variasi penerimaan di setiap negera, tergantung pada sifat pemerintahanan dan keluarga hukum yang dianut negara tersebut. Di negara-negara yang menganut common law, asas legalitas tidak begitu menonjol. Dalam common law, analogi tidak hanya diijinkan, tetapi bahkan menjadi basis pembaharuan Common Law. Namun Amerika Serikat lebih ketat dalam membatasi analogi, dan asas retroaktif hanya diperbolehkan dalam hukum acara, khususnya hukum pembuktian.[18]
Uni Soviet sebelum tahun 1976 menerapkan apa yang disebut “socialist justice” dan menolak asas legalitas, khususnya untuk tindak pidana yang dikategorikan “socially dangerous”. Tapi sejak 1976, negara ini mulai menyesuaikan diri dengan negara-negara Eropa Barat. Meskipun asas legalitas sekarang ini telah menjadi prinsip umum, di negara-negara Asia dan Afrika yang tidak dijajah oleh negara-negara Eropa Barat, dalam praktek asas legalitas masih banyak disimpangi.[19]
Dalam hukum internasional, asas legalitas juga tidak diterapkan secara utuh. Berkatian dengan asas “nullum crimen sine lege”, tampak adanya artikulasi dari “nullum crimen sine lege” menjadi “nullum crimen sine iure”, sebagaimana tampak dalam berbagai hukum pidana Internasional. Sedangkan berkaitan dengan “nulla poena sine lege”, salah seorang pakar hukum dari Romawi, Vespasian V. Pella, mengatakan bahwa prinsip “nulla poena sine lege” diterapkan dalam hukum Internasional sebagaimana dalam hukum nasional. Namun ternyata yang kemudian berkembang dalam hukum pidana Internasional adalah bahwa hukuman tidak perlu ditentukan secara jelas.[20]
Satu hal yang patut digarisbawahi dari paparan di atas adalah bahwa asas legalitas sudah bukan lagi ‘harga mati’ yang harus diterapkan apa adanya sebagaimana dulu ia dirumuskan. Kalau dulunya pada saat dirumuskan asas legalitas diterapkan dengan sangat tegas demi untuk melindungi individu, maka ketika perkembangan kebutuhan akan perlindungan individu sudah tidak sekuat dulu, asas legalitas mengalami banyak variasi penerapan dalam berbagai negara, dan bahkan dalam hukum Internasional.
Asas legalitas diperuntukkan untuk kebebasan individu dan perlindungan rakyat, sehingga menurut Bambang Poernomo, kemudian sempat timbul pemikiran baru bahwa “individuale rechtszekerheid en rechtsgelijkheid” harus ditolak karena kepentingan masyarakat (sociale) harus lebih diutamakan.
Salah satu bentuk penyimpangan asas legalitas adalah dengan penerapan asas retroaktif. Dalam perjalanan sejarah, penyimpangan asas legalitas dengan menerapkan asas retroaktif juga pernah terjadi. Demi kepentingan umum, sejarah hukum pidana pernah mencatat beberapa peristiwa yang memperlakukan undang-undang hukum pidana secara surut.
Pertama, adalah di Jerman, negeri tempat sang perumus asas legalitas, von Feuerbach, melontarkan pemikirannya dan juga membuatkan undang-undang pidana untuknya. Pada tahun 1933 diadakan undang-undang 29 Maret 1933 yang memuat ketentuan bahwa undang-undang ini berlaku surut sampai tanggal 31 Januari 1933, sebagai peraturan untuk melindungi kepentingan rakyat dan negara. UU ini diberlakukan untuk menghukum Marines van de Lubbe dan kawan-kawannya yang didakwa membakar Reichstaatgebouw pada tanggal 27 Februari 1933. Kedua, Nederland mengadakan peraturan, yaitu Besluit 22 Desember 1943, dengan pertimbangan untuk keselamatan negara perlu menetapkan peraturan hukum pidana istimewa terhadap perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan selama peperangan berlangsung, yang menurut sifatnya merupakan perbuatan tercela sehingga harus mendapatkan pidana tanpa berpegang pada ketentuan Pasal 1 Sr.[21]
Adapun di Hindia Belanda, asas retroaktif diterapkan dalam Ordonantie 22 September 1945 yang berlaku tanggal 7 Oktober 1945. Pasal 18 dan 19 Ordonantie menentukan bahwa ordonantie tersebut berlaku surut sampai 10 Mei 1940 dan Pasal 1 W.v.S. tidak diberlakukan. [22] Selain contoh-contoh tersebut masih banyak kasus-kasus di berbagai negara yang menerapkan asas retroaktif karena suatu kebutuhan mendesak demi perlindungan terhadap, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat secara umum.

ASAS RETROAKTIF DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN HUKUM PIDANA DAN ALASAN PEMIDANAAN
Apabila asas legalitas dikaitkan dengan aliran-aliran tentang tujuan hukum pidana, ia sangat dekat dengan pemikiran aliran klasik, yaitu sebuah aliran yang muncul sebagai reaksi terhadap “ancient regime” pada abad ke-18 yang dulu terkenal sangat arbitrair. Karena merupakan reaksi terhadap rezim otoriter, aliran ini mengatakan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Sedangkan bila dikaitkan dengan pandangan mengenai pemidanaan, asas ini adalah produk dari ‘teori tujuan’, atau lebih akurat lagi, teori ‘prevensi umum’ yang dilontarkan oleh Feuerbach.
Dengan demikian, dalam hal tujuan hukum pidana, tampak bahwa asas legalitas masih terlalu berat sebelah, sebab ia hanya melindungi individu dari kesewenang-wenangan penguasa. Padahal ada juga aliran lain tentang tujuan hukum pidana, yaitu aliran modern, yang mengatakan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Perdebatan tentang apa tujuan hukum pidana tampaknya merupakan persoalan yang tidak akan pernah selesai, sehingga dalam hal ini, yang terbaik tentunya adalah bagaimana mengkompromikan kedua aliran tersebut.
Prinsipnya, hukum pidana harus mampu memberikan perlindungan kepada individu dan masyarakat secara bersamaan. Dua perlindungan ini tidak boleh dipisah-pisahkan satu sama lain. Namun selama ini, hukum pidana masih konsentrasi pada perlindungan hak pelanggar, sehingga sudah sekarang gilirannya korban untuk diperhatikan, dengan tanpa melanggar hak pelanggar.
Apabila tujuan hukum pidana yang kompromistis ini dikaitkan dengan asas legalitas, maka akan tampak ketimpangannya. Asas legalitas terlalu mementingkan hak pelanggar, sehingga asas legalitas tidak bisa melindungi, bahkan terkesan terlalu mengesampingkan, kepentingan masyarakat secara kolektiveit dari kejahatan-kejahatan yang menimpanya jika kejahatan tersebut belum diatur dalam UU. Perlindungan individu memang penting, bahkan harus tetap dipertahankan dalam hukum pidana. Namun bukan berarti perlindungan terhadap individu ini boleh mengabaikan kepentingan masyarakat banyak. Apabila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang harus diutamakan adalah kepentingan masyarakat banyak. Pilihan ini adalah perwujudan dari asas yang sangat universal dalam hukum, yaitu “Le salut du peuple est la supreme loi” atau “the safety of people is the highest law”.[23]
Lebih jauh lagi, menurut pakar Filsafat Etika Politik, Armada Rianto, sikap yang terlalu berpegang teguh pada prinsip non-retroaktif terhadap kejahatan yang bersifat masif dan terorganisasi dengan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial yang melahirkan prinsip tersebut, dapat disebut sebagai “latius hos”, yaitu sebuah kesalahan logika karena menerapkan sebuah premis atau prinsip, lebih lebar dari apa yang dimaksudkan.[24] Artinya, maksud prinsip non-retroaktif adalah sebatas perlindungan warga negara dari penghukuman yang dilakukan oleh penguasa secara sewenang-wenang. Dengan demikian prinsip ini tidak dimaksudkan untuk tujuan yang lebih lebar dari itu, seperti keharusan untuk menyatakan suatu kejahatan yang bersifat masif dan terorganisasi ketika undang-undang belum mengaturnya, sebagai bukan kejahatan.
Oleh karena itu, agar seimbang, asas ini dalam kondisi tertentu boleh disimpangi, yang salah satunya adalah dengan memberikan kemungkinan penerapan asas retroaktif untuk kasus-kasus tertentu yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat, demi tercapainya tujuan hukum pidana yang seimbang. Dalam hal ini tepat sekali apa yang dikatakan oleh Nyoman Sarikat Putra Jaya dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Diponegoro yang berjudul "Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif Sebagai Penyeimbang Asas Legalitas", bahwa pembentuk undang-undang dapat menyatakan suatu perbuatan yang terjadi sebagai tindak pidana dan dapat dipidana, asal perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum tidak tertulis dalam hukum pidana Internasional.[25]
Apa yang dikatakan oleh Nyoman tersebut semakin tampak urgensinya, terutama bila mengingat akan betapa terbatasnya teks undang-undang – terlebih lagi KUHP yang sudah sangat tua, larangan dilakukannya analogi, dan adanya perkembangan kejahatan jenis baru yang belum ada ekuivalensinya dalam KUHP. Apalagi bila kejahatan tersebut merupakan kejahatan “white collar crime” yang seringkali tidak tampak sifat jahatnya dan “corporate crime” yang seringkali sangat merugikan masyarakat, diadakannya pembaharuan undang-undang berkaitan jelas merupakan kebutuhan yang tidak terhindarkan.
“White collar crime” seringkali diragukan apakah ia merupakan perbuatan pidana atau bukan, sehingga kemudian ada istilah “illegal but not criminal”. Padahal “white collar crime” dalam skala makro jelas sangat merugikan kepentingan publik, baik secara moral maupun materi, dan dilakukan secara sangat profesional, sehingga sulit ditangkap dengan jerat-jerat pasal konvensional. Demikian juga dengan kejahatan korporasi, yang termasuk kejahatan yang paling merugikan kepentingan publik. Sebagai contoh, Bureau of National Affairs di Amerika memperkirakan, “nilai dollar dari kejahatan korporasi terhadap Amerika, adalah sepuluh kali lipat lebih besar dari kejahatan-kejahatan pembakaran, penjambretan, pencurian mobil yang dilakukan secara individual dijadikan satu.” [26]
Di satu sisi kejahatan terus berkembang, dan di sisi yang lain, teks undang-undang bersifat baku dan statis, sehingga ketertinggalan suatu undang-undang dari perkembangan kejahatan bukan saja merupakan dugaan, tapi bahkan kepastian. Hal ini karena pembuat undang-undang tidak akan mungkin bisa memperkirakan semua jenis kejahatan yang akan terjadi. Pembuat undang-undang juga tidak senantiasa mampu memakai kata-kata tepat.[27] Oleh karena itu, ketika terjadi suatu jenis kejahatan baru yang sangat membayakan kepentingan masyarakat secara kolektiveit, dan undang-undang belum mengaturnya atau sudah mengatur namun pengaturannya tidak memadai, maka demi perlindungan masyarakat, asas retroaktif bisa diterapkan sebagai solusi.
Setelah jelas bahwa asas retroaktif dapat diterapkan demi menjaga keseimbangan tujuan hukum pidana, penerapan asas retroaktif masih memiliki satu problem lagi, yaitu berkaitan dengan alasan pidana. Artinya, dengan alasan atau maksud apa sebenarnya penjatuhan pidana dalam penerapan asas retroaktif tersebut. Dalam hal ini, asas retroaktif seringkali diidentikkan dengan teori retribusi. Lebih jauh lagi, Andi Hamzah bahkan mengatakan bahwa penerapan asas retroaktif merupakan pengakuan terhadap eksistensi dari Lex talionis.[28] Hal yang sama juga dikemukakan oleh Indriyanto Seno Adji, yang mengatakan bahwa penerapan asas retroaktif adalah konsep pengakuan terhadap political revenge, yang dalam bahasa hukum disebut lex talionis.[29]
Dalam Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tanggal 16 Februari 2000 di Jakarta, Muladi, Loebby Loqman, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, sepakat bahwa penerapan asas retroaktif dalam suatu peraturan perudang-undangan bisa dibenarkan bila penerapan asas tersebut bisa memberikan keadilan bagi masyarakat. Loebby Loqman menyatakan: "suatu asas hukum dapat dilakukan pengecualian apabila asas yang lama diterapkan justru akan menimbulkan ketidakadilan". [30]
Pembalasan demi rasa keadilan ini baru akan menjadi kurang layak dalam hukum pidana, apabila ia hanya dijadikan satu-satunya alasan pemidanaan, sebab pidana, selain diharapkan untuk memenuhi rasa keadilan korban, juga harus memiliki kemanfaatan. Muladi mengatakan mengenai adanya suatu tujuan pidana yang integratif, yaitu:
1. Tujuan pidana adalah pencegahan (umum dan khusus);
2. Tujuan pidana adalah perlindungan masyarakat;
3. Tujuan pidana adalah memelihara solidaritas masyarakat;
4. Tujuan pidana adalah pengimbalan/pengimbangan.[31]
Jika asas retroaktif dituduh sebagai cermin teori retribusi secara murni, maka asas legalitas juga harus dikatakan merupakan cermin teori tujuan murni yang mengesampingkan unsur pembalasan/pengimbangan. Padahal yang benar tidaklah seperti itu. Dalam realisasi pembalasan tentu ada pula unsur lain, yaitu tujuan pencegahan (baik khusus maupun umum) dan perlindungan masyarakat. Demikian juga dengan realisasi teori tujuan, sedikit ataupun banyak, pasti juga akan menyentuh nuansa pengimbalan/pengimbangan bagi perbuatan pelaku. Persoalannya hanyalah tinggal bagaimana menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan tersebut, agar jangan sampai tujuan yang satu menafikan tujuan yang lainnya.

KONTROVERSI ASAS RETROAKTIF
Asas Retroaktif Dan Hak Asasi Manusia
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, HAM didefinisikan sebagai: seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat martabat manusia.[32]
Penerapan asas retroaktif dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara, yaitu hak yang diatur dalam Pasal 28 I UUD 1945. Pasal tersebut melindungi hak individu warga negara dari penuntutan secara sewenang-wenang. Hak ini tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Sebagai penegasan dan penjabaran dari Pasal 28 tersebut, Pasal 4 UU 39/1999 menyatakan: “…hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Penjelasan Pasal 4 menyatakan:
- Yang dimaksud “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
- Yang dimaksud dengan “siapapun” adalah negara, pemerintah, dan atau anggota masyarakat.
- Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Barda Nawawi Arief menilai ‘penjelasan’ Pasal ini sebagai sebuah kejanggalan, karena bertentangan dengan norma yang secara tegas disebut di dalam teks/redaksi Pasal yang bersangkutan, dan bahkan di dalam ‘penjelasan’ itu sendiri ada penjelasan yang saling kontradiksi.[33] Tampaknya kerancuan yang ada dalam pasal tersebut bukan hanya sekedar problem bahasa saja, tapi disebabkan oleh kerancuan konsep dasar dari hak ini. Oleh karena itu, penobatan ‘hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut’ sebagai hak fundamental yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun, tampaknya masih perlu dikritisi ulang.
Pelaksanaan hak asasi sangat potensial untuk menimbulkan pertentangan antara hak individu yang satu dengan individu yang lain, sehingga agar tercapai keseimbangan, hak asasi harus diimbangi dengan kewajiban dasar manusia untuk menghormati hak orang lain. Ini adalah syarat mutlak terlaksananya hak asasi manusia secara umum.[34] Setiap orang memiliki hak asasi, tapi ia juga punya kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain. Karena setiap individu punya kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, sebenarnya tidak ada hak asasi tidak bersifat mutlak atau absolut bagi seorang individu, sebab hak ini pasti akan berhadapan dengan hak orang lain.
Perlindungan terhadap individu dari kesewenang-wenangan penuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut memang penting, sehingga perlindungan ini kemudian diwujudkan dalam bentuk hak. Namun di sisi yang lain, di samping ia juga harus menghormati HAM, pemerintah juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi, dan menegakkan, dan memajukan HAM.[35] Kewajiban dan tugas pemerintah ini bersifat umum, meliputi semua hak warga negaranya, dan dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya tersebut, pemerintah terkadang harus menggunakan hukum pidana sebagai ‘ultimum remidium’.
Tujuan dari diakuinya hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebenarnya adalah untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan penguasa dalam menggunakan instrumen hukum. Secara filosofis, hak ini sesungguhnya hanya berlaku jika individu tersebut memang benar-benar tidak bersalah, dalam artian, tidak melanggar hak orang lain. Seandainya suatu saat pemerintah menuntut atas dasar hukum yang berlaku surut terhadap orang yang secara mateiil bersalah melanggar hak orang lain yang wajib ia hormati, maka tindakan pemerintah ini secara substansial sama sekali tidak melanggar hak orang tersebut. Paling jauh hanya dapat dikatakan bahwa pemerintah melanggar ‘hak yang tertulis’, sebab substansi haknya tidak terlanggar, mengingat pemerintah dalam kondisi yang demikian tidak bersikap sewenang-wenang. Justru apabila pemerintah mendiamkan pelanggaran hak seseorang yang dilakukan oleh orang lain, pemerintah bisa dikatakan melalaikan kewajibannya untuk melindungi dan memajukan HAM.
Sekarang persoalannya adalah undang-undang telah terlanjur mengatur hak ini secara tertulis sebagai non-derogable right. Pengaturan ini sangat bersifat individualis dan terlalu mengesampingkan hak korban atas keadilan. Lebih jauh lagi, pengaturan yang seperti ini bisa menghambat tugas pemerintah dalam melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia secara umum. Entah apa alasan untuk menempatkan hak yang sangat individualis ini sebagai hak fundamental, padahal penolakan dan kritik terhadap individualisme bukan hanya telah terjadi secara sporadis saja, melainkan telah menjadi diskusi publik, sebab ketika individualisme bergabung dengan liberalisme, individualisme telah terbukti banyak memakan korban.[36]
Dengan demikian, menempatkan hak tersebut sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun adalah sesuatu yang berlebihan. Karena pengaturan yang seperti ini, pemerintah menjadi sangat terbatas kewenangannya. Di satu sisi, pemerintah harus melindungi hak-hak warganya secara umum, tapi di sisi lain pemerintah tidak akan bisa berbuat apa-apa ketika ada pelanggaran yang belum diatur dalam undang-undang. Padahal yang namanya undang-undang tidak akan pernah sempurna dan tidak mungkin bisa mengakomodir semua jenis pelanggaran. Yusril Ihza Mahendra mengatakan: “kalau kita berharap hukum hanya bisa ditegakkan sampai undang-undang sempurna, maka sampai kiamat kita tidak akan menegakkan hukum”. Artinya, sampai kapan pun undang-undang memang tidak akan pernah bisa sempurna. Ada kalanya suatu kejahatan belum diatur oleh suatu undang-undang karena pembuat undang-undang tidak mungkin bisa memprediksikan secara sempurna tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Karena pengaturan yang demikian tidak tepat, maka wajar jika kemudian hak ini disimpangi dalam beberapa undang-undang. Pasal 4 UU HAM menegaskan bahwa hak ini merupakan non-derogable right, dan penegasan ini diperkuat oleh dua bagian pertama penjelasan pasal tersebut. Namun bagian terakhir penjelasan pasal tersebut menyatakan kebalikannya, yaitu bahwa hak tersebut bisa di-derogate dalam kasus pelanggaran HAM berat yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Fakta ini menjukkan dengan sangat jelas bahwa penempatan hak tersebut sebagai non-derogable right memang tidak tepat karena terlalu berlebihan, sehingga ketika undang-undang berusaha menjabarkannya, tampak adanya kontradiksi.
Undang-undang hanya memberi kesempatan penerapan asas retroaktif untuk kasus pelanggaran HAM berat saja, di mana pelanggaran HAM berat ini sudah ditentukan secara rigid dan limitatif oleh UU HAM. Sementara itu, pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya masih sangat banyak dan belum diakomodir semuanya. Bisa jadi, pelanggaran ini merupakan pelanggaran secara sistematis dan masal, sehingga sama bahayanya dengan dua pelanggaran HAM berat yang disebut dalam UU tadi, seperti korupsi yang sekarang melanda negeri ini. Berkenaan dengan masalah ini, patut diperhatikan pendapat dari Romli Atmasasmita menyatakan bahwa korupsi sekarang ini bukan hanya merupakan ‘extra ordinary crime’ saja, sebab ia secara de facto sudah termasuk ‘crimes against humanity’, meskipun secara de jure tidak. Alasan dia karena korupsi adalah suatu kejahatan sistematis dan meluas yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi rakyat yang juga telah diakui dalam berbagai instrumen hukum internasional.[37] Demikian juga dengan Adnan Buyung Nasution, yang sempat mengatakan:
"Saya terkadang berpikir, mengapa asas retroaktif hanya berlaku untuk kasus pelanggaran HAM berat. Bukankah korupsi juga merupakan pelanggaran HAM. Walaupun saya semula tidak setuju, tetapi kini saya membuka diri mengapa asas retroaktif tidak bisa diterapkan dalam perkara korupsi. Jika DPR menghendaki dalam pembahasan RUU Perubahan UU No 31/1999 ini, oke saja asas retroaktif diterapkan".[38]
Diakui ataupun tidak, konsep HAM yang ada sekarang ini – termasuk hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, menurut Satjipto Rahardjo, dulunya lahir dari proses pembebasan individu dari keterikatannya pada lingkungan, alam maupun tradisinya yang ada di dunia Barat, dan menurut Guru Besar dari Universitas Leiden, Baehr, konsep Barat tersebut menghadapkan perlindungan kepentingan individu berhadapan dengan masyarakatnya; sebuah konsep yang sebenarnya tidak ada dalam dunia non-Barat.[39] Dengan bahasa yang lebih tegas, konsep HAM yang ada sekarang menghadapkan hak kebebasan warga negara di satu sisi, dengan peran negara di sisi yang lain, di mana keduanya dipertentangkan dan negara harus menghormati hak-hak individual warganya tersebut.
Berkaitan dengan pembicaraan hak dan kewajiban, ada hak menurut hukum dan hak menurut moral. Hak menurut moral adalah kepentingan yang diakui dan diatur oleh suatu ketentuan moral – suatu kepentingan yang apabila dilanggar akan dikatakan sebagai kesalahan dari segi moral. Sedangkan hak menurut hukum adalah kepentingan yang diatur dan dilindungi oleh suatu peraturan perundang-undangan, yang pelanggaran terhadapnya akan dianggap kesalahan menurut hukum.[40] Penerapan asas retroaktif mungkin bisa dianggap melanggar hak menurut hukum, dalam artian, melanggar bunyi teks peraturan perundang-undangan yang mengatur hak, namun belum tentu melanggar hak menurut moral. Apalagi jika penerapan asas retroaktif tersebut dilakukan demi mewujudkan keadilan yang menjadi tuntutan setiap manusia secara kodrati, tentu tidak serta merta bisa dikatakan sebagai kesalahan menurut moral dan pelanggaran atas substansi suatu hak.
Bagaimanapun kemajuan HAM yang ada sekarang ini sangat berhutang kepada konsep hak menurut pandangan madzhab hukum kodrat.[41] Oleh karena itu, memahami konsep hak hendaknya jangan dilakukan secara positifis, yaitu hanya membaca teks-teks peraturan tentang hak, tapi harus dipahami juga hakikat adanya hak tersebut. Dengan memahami hak menurut substansinya, maka ‘hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut’ yang ada dalam teks undang-undang dapat didudukkan sesuai proporsinya, sehingga pelanggaran terhadap substansi hak tersebut dan pelanggaran terhadap teks undang-undang dapat dibedakan.
Selain itu, pembicaraan tentang HAM semestinya dilakukan secara seimbang. Tidak hanya hak pelanggar saja yang dipentingkan, tapi juga hak-hak korban atas keadilan dan juga hak masyarakat secara umum. Terlebih lagi di Indonesia yang sudah jelas-jelas menganut paham komunal, bukan paham individual-liberal.
Artinya, perlindungan terhadap penuntutan atas dasar hukum yang berlaku surut secara sewenang-wenang adalah sesuatu yang penting, tapi ia tidak layak mendapatkan status sebagai hak asasi yang sifatnya fundamental. Kalaupun ini mau dianggap sebagai hak individu, maka jadikanlah ia sebagai hak biasa saja. Ia tidak layak disebut sebagai hak fundamental yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun, sebab ini justru akan berbenturan dengan fakta-fakta penyimpangan terhadap hak tersebut, yang memang terkadang harus dilakukan demi perlindungan hak asasi manusia secara umum dan berimbang.
Berdasarkan paparan di atas, jelas bahwa penerapan asas retroaktif, sepanjang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, sebenarnya tidak melanggar substansi hak yang diatur dalam Pasal 28 I UUD 1945 maupun Pasal 4 UU HAM. Namun apabila hak tersebut dibaca dan dieja secara tekstual, penerapan asas retroaktif memang bisa dianggap melanggar HAM yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini hanya berhubungan dengan perumusan pasal yang kurang tepat dan kurang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, dan tidak berhubungan dengan substansi hak itu sendiri.
Sikap yang terlalu berpegang teguh pada pemenuhan hak-hak pelanggar berdasarkan redaksi teks konstitusi, dapat merugikan hak-hak korban atas keadilan. Hal ini karena konstitusi telah mengatur secara rinci hak pelanggar, namun ia tidak mengatur hak korban secara jelas, sehingga tidak heran jika konstitusi terkadang dapat menyebabkan – bahkan mewajibkan – ketidakadilan.

Asas Retroaktif Dan Keadilan
Penerapan asas retroaktif seringkali dianggap melanggar prinsip keadilan, sebab dengan diterapkannya asas retroaktif, berarti seseorang akan dituntut dan dihukum karena suatu perbuatan yang merupakan hal yang legal pada saat dilakukan. Dalam hal ini harus diingat, bahwa persoalan keadilan adalah persoalan yang sangat pelik dan penuh subyektifitas, sehingga adil menurut seseorang belum tentu akan adil menurut orang lain.
Ada adagium yang mengatakan, “summum ius, summa iniuria” (keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi). Adagium ini muncul berkaitan dengan pertikaian yang tidak pernah berujung antara tuntutan keadilan dan tuntutan kepastian hukum. Makin banyak hukum memenuhi kepastian hukum (hukum yang tetap), maka makin terdesaklah keadilan.[42] Bila ada dua pihak yang sedang berhadap-hadapan dalam hukum, maka semakin tinggi keadilan yang dirasakan oleh salah satu pihak berdasarkan kepastian hukum, semakin tinggi pula ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak lain berdasarkan rasa keadilan.[43] Dalam konteks hukum pidana, pihak yang berhadap-hadapan adalah masyarakat (yang diwakili Jaksa) dan individu pelanggar. Keadilan yang dilangar oleh penerapan asas retroaktif di sini tentunya adalah keadilan menurut versi pelanggar atau keadilan individu.
Keadilan adalah suatu konsep yang hanya relevan dengan hubungan antar manusia, dan karena itu dia harus dibahas dalam konteks yang sosial sifatnya. Tepat sekali bila kemudian Budiono Kusumohamidjojo, pakar filsafat dari Universitas Parahyangan, mempersoalkan adanya istilah ‘keadilan sosial’ (Indonesia), ‘social justice’ (Inggris), dan ‘soziale Gerechtigkeit’ (Jerman), yang dinilainya sebagai sebuah kerancuan istilah. Dikatakan sebagai kerancuan istilah, sebab istilah ‘keadilan sosial’ menghendaki adanya istilah lain, yaitu ‘keadilan individu’, sedangkan istilah keadilan hanya relevan dalam konteks kehidupan bersama, dan tidak ada dalam konteks kehidupan individu.[44]
Istilah keadilan individu muncul dari pengaruh pemikiran Barat yang memposisikan individu berhadap-hadapan dengan masyarakatnya sendiri. Dari sinilah kemudian muncul hak individu yang lepas sama sekali dari konteks sosial di mana dia hidup, dan pelanggaran terhadap hak individu inilah yang kemudian disebut sebagai ketidakadilan atas individu. Dalam konteks yang demikian ini sesungguhnya anggapan bahwa penerapan asas retroaktif melanggar keadilan muncul. Jadi, persoalannya adalah penerapan asas retroaktif dianggap melanggar rasa keadilan pelanggar, karena ia tidak patut dipersalahkan atas perbuatannya yang tadinya legal saat dilakukan.
Hukum yang bersifat retroaktif memang secara prosedural mungkin bisa dikatakan tidak adil, tapi tidak selalu berarti bahwa dia juga tidak adil secara substantif. Pada saat yang sama, hukum menentukan ‘strict liability’ terhadap pelaku dari suatu perbuatan, yang bisa jadi sama sekali tidak diprediksi oleh pelaku. Hukum juga menentukan ‘vicarious liabilty’, yang membuat seseorang menjadi subyek dari perbuatan orang lain, yang dilakukan dalam keadaan tidak sepenuhnya berada di bawah kontrolnya. Dengan demikian, kalau memang yang dipermasalahkan adalah keadilan, maka bukan hanya penerapan asas retroaktif saja yang bermasalah, sebab konsep ‘strict liability’ dan ‘vicarious liability’ juga rentan dengan isu keadilan.
Setiap orang sebenarnya bisa menentukan perbuatan mana yang pantas dan perbuatan mana yang tidak pantas dilakukan. Dalam teori hukum pidana dikenal adanya “mala in se” dan “mala prohibita”. Memang Hans Kelsen – dan juga orang-orang positifis lainnya – tidak setuju dengan konsep seperti ini, sebab baginya yang disebut kejahatan adalah apa yang dinyatakan oleh undang-undang saja. Kaum positifis hanya mengenal “mala prohibita”, sehingga tidak ada yang disebut sebagai “mala in se”. Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa orang seperti Kelsen pun pada dasarnya tetap mengakui fakta adanya suatu jenis kejahatan yang dapat disepakati oleh berbagai budaya yang berbeda-beda dan tercela secara moral. Letak ketidaksetujuan Kelsen hanyalah sebatas jika konsep ‘mala in se’ dibawa ke konteks hukum sebagai penentu adanya delik. Ia keberatan dalam hal penentuan suatu delik yang bukan berdasar hukum (undang-undang), sebab penentuan delik harus berdasar pada hukum, sebagai konsekuensi dari asas nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege. [45]
Itu berarti, semua pihak pada dasarnya tetap sepakat mengenai adanya suatu jenis kejahatan yang ‘immoral or wrong in themselves’ atau yang biasa disebut sebagai “mala in se”. Ketidaksepakatan hanya terjadi dalam hal boleh tidaknya penentuan delik berdasarkan konsep “mala ini se” ini, bukan berdasar undang-undang. Oleh karena itu, argumen Kelsen ini jelas hanya bersentuhan dengan masalah kepastian hukum, sehingga tidak relevan jika dipakai dalam konteks pembicaraan tentang asas retroaktif dan masalah rasa keadilan di sini.
Dengan demikian, untuk kategori kejahatan “mala in se”, setiap orang sebenarnya sudah tahu bahwa perbuatan tersebut tidak benar, tidak sesuai dengan moral, dan salah. Oleh karena itu, bila asas retroaktif diterapkan terhadap kejahatan jenis ini, penerapan asas retroaktif itu sama sekali tidak melanggar rasa keadilan tersangka/terdakwa, sebab tersangka sudah tahu bahwa apa yang ia lakukan adalah jahat. Persoalannya adalah bila asas retroaktif diterapkan berkenaan dengan kejahatan yang tidak termasuk kategori “mala in se”, yang sebenarnya tidak mengandung sifat jahat secara moral, sebab ia menjadi baru kejahatan setelah undang-undang menyebutnya sebagai kejahatan.
Untuk kejahatan yang tidak termasuk kategori “mala in se”, penerapan asas retroaktif memang sangat rentan dengan masalah keadilan. Padahal yang perlu dikriminalisasi bukan hanya “mala in se” semata, sebab yang diatur dalam hukum pidana bukan hanya perbuatan yang menimbulkan bahaya saja, tapi juga perbuatan yang hanya potensial bisa menimbulkan bahaya, atau perbuatan yang untuknya dibutuhkan perhatian khusus demi untuk mencegah bahaya.
Meskipun demikian, bukan berarti asas retroaktif tidak memiliki alasan sama sekali untuk diterapkan pada perbuatan yang tidak termasuk “mala in se”. Hal ini karena pada dasarnya setiap orang memiliki tanggung jawab untuk bersikap peduli dan hati-hati. Tanpa adanya peraturan pun, setiap orang sejatinya juga bisa tahu apa saja perbuatan yang kira-kira bisa berpotensi membahayakan atau menimbulkan kerugian pada orang lain. Dengan demikian, jelaslah bahwa rasa keadilan pelanggar tidak lagi relevan untuk dikemukakan sebagai alasan penolakan asas retroaktif, kecuali kalau memang yang menjadi pijakannya adalah nilai-nilai individualis-liberalis.

Asas Retroaktif Dan Kepastian Hukum
John Rawls mengatakan bahwa sekarang ini ide rule of law jelas dekat sekali hubungannya dengan kebebasan (obviously closely related to liberty). Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa sistem hukum dekat sekali dengan ajaran bahwa keadilan adalah ketertiban (justice is regularity).[46] Ada istilah yang berbeda-beda untuk menyebut ‘ketertiban umum’ dalam negara hukum, yaitu ‘keadaan damai’ dan ada pula yang menyebutnya ‘kepastian hukum’.[47] Kepastian hukum adalah sebuah konsekuensi logis dari negara hukum, yang menghendaki agar warga mendapatkan kebebasannya dengan jaminan hukum yang jelas.
Berkaitan dengan persoalan kepastian hukum dalam hukum pidana, hal ini ditegaskan dalam asas legalitas yang inti ajarannya adalah ‘tidak ada pelanggaran dan hukuman tanpa adanya hukum’. Tujuannya adalah agar warga negara memperoleh kepastian hukum mengenai apa yang boleh ia lakukan dan apa yang tidak boleh, sehingga kebebasan warga negara tersebut tetap terjamin. Agar doktrin ‘no offense without law’ bisa benar-benar merealisir ide kepastian hukum, John Rawls mengajukan beberapa persyaratan yaitu:
a. Hukum harus dapat diketahui dan diumumkan dengan jelas;
b. Arti dari hukum harus didefinisikan secara jelas;
c. Undang-undang harus bersifat umum baik pernyataan maupun maksudnya, dan bukan digunakan untuk membahayakan individu tertentu;
d. Pelanggaran berat harus diuraikan secara tegas (stricly construed); dan
e. Hukum pidana tidak boleh berlaku surut untuk merugikan tersangka/terdakwa;[48]
Ide kepastian hukum sebenarnya memiliki keterkaitan erat dengan keadilan, sebab adanya kepastian hukum adalah demi menegakkan keadilan, yang pemaknaannya seringkali lebih bersifat relatif dan subyektif. Dalam pembicaraan tentang hukum – termasuk di dalamnya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum, maka yang harus diperhatikan sebagai hal sangat esensial, adalah untuk apa tujuan hukum. Secara konvensional, seringkali dikatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hal ini, sebisa mungkin, ketiganya harus diupayakan secara bersama-sama, sebab dalam pelaksanannya memang seringkali terdapat pertentangan antara yang satu dan yang lainnya.
Seringkali kepastian hukum begitu dipuja karena dianggap selalu bisa menegakkan keadilan. Padahal dalam kenyataannya, di antara keduanya seringkali terjadi pertentangan. Terkadang hukum terpaksa harus memilih salah satu di antara keduanya,[49] dalam artian, jika hukum memilih kepastian hukum, maka keadilan akan terbengkalai, dan sebaliknya, jika hukum memilih keadilan, maka kepastian hukum akan tereduksi. Jika terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka menurut Gustav Radbruch yang harus didahulukan adalah keadilan. Keadilan adalah nilai tertinggi yang harus direalisasikan, dan keadilan mengalahkan prinsip-prinsip lainnya.[50] Keadilan di sini tentunya adalah keadilan substantif, bukan sekedar keadilan prosedural.
Kalau tetap akan dikatakan bahwa prinsip kepastian hukum tidak boleh dikesampingkan, maka harus diklasifikasi dulu apa maksud dari kepastian hukum yang sebenarnya, dan apa yang akan dicapai dengan itu. Apeldoorn menyatakan tujuan hukum adalah untuk mengatur kehidupan secara damai. Menurut Budiono Kusumohamidjojo, istilah damai pada masa itu adalah apa yang kini disebut dengan ‘tertib hukum’, yang oleh beberapa penulis lain disebut sebagai ‘kepastian hukum’. Tertib hukum hanya bisa ditegakkan, jika dia mendatangkan keadilan bagi mereka yang berkepentingan terhadap keadaan tertib itu.[51] Jika ketertiban umum harus merupakan tertib hukum, ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu ketertiban yang adil. Jadi, keadilan adalah substansi dari tertib hukum maupun ketertiban umum, sehingga tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa fungsi utama dari hukum pada akhirnya adalah untuk menegakkan keadilan.[52]
Kepastian hukum dalam rule of law menghendaki agar kasus-kasus yang serupa diadili secara sama (similar cases be treated similiarly).[53] Logika kebalikannya, kasus-kasus yang berbeda pun harus mendapatkan perhatian yang berbeda-beda sesuai proporsinya. Kepastian hukum juga menghendaki agar setiap pelanggaran harus mendapatkan hukuman. Persoalannya adalah tinggal bagaimana menentukan apakah suatu perbuatan itu merupakan pelanggaran atau bukan, dan juga apakah pelanggaran tersebut ringan atau berat. Kalau mengikuti mazhab postivisme hukum, yang bisa menentukan hanyalah aturan tertulis. Bila dikaitkan dengan tujuan kepastian hukum yang tidak lain adalah keadilan, maka yang semestinya menentukan bukanlah ‘aturan tertulis’ semata, tapi juga rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hal ini karena penentuan pasti atau tidak pastinya suatu hukum sebenarnya merupakan masalah penilaian, yang pada akhirnya akan kembali pada perasaan.
Berbeda dengan kepastian hukum formal yang diperoleh terutama melalui kinerjanya, kepastian hukum material dihasilkan oleh rasa keadilan yang proporsional yang mengemuka manakala perilaku yang menyimpang dari norma hukum dengan bobot yang berbeda-beda memperoleh penilaian. Kepastian hukum formal tidak bisa dikatakan ada, jika misalnya setahun yang lalu korupsi dikenai hukuman pidana, sedangkan sebulan lalu menjadi tindakan yang dikenai sanksi perdata, atau bahkan hanya tindakan disipliner yang tentu saja tidak akan membuat orang semakin disiplin. Kepastian hukum material tidak bisa dikatakan ada, jika seorang bendahara desa yang hanya melakukan korupsi ‘tingkat desa’, dan seorang pejabat ‘eselon satu’ yang melakukan korupsi ‘tingkat eselon satu’, pada akhirnya sama-sama dikenai pidana penjara, misalnya, lima tahun.[54]
Dengan demikian, masalah kepastian hukum pada akhirnya tetap kembali pada perasaan yang hidup di tengah masyarakat. Ketika ada suatu pelanggaran berat yang sangat melukai rasa keadilan masyarakat dan belum diatur oleh undang-undang, atau sudah diatur tapi pengaturannya tidak proporsional dengan tingkat pelanggarannya, maka menurut kepastian hukum formal, pelanggaran hukum tersebut harus dianggap boleh. Tapi kepastian hukum yang seperti ini akan melukai kepastian hukum yang sebenarnya dirasakan oleh masyarakat, yakni kepastian hukum material, yang menghendaki dan mengandaikan agar setiap pelanggaran mendapatkan hukuman. Oleh karena itu, penerapan asas retroaktif tidak boleh dianggap selalu melanggar hakikat dari kepastian hukum, sebab ia terkadang bahkan bisa mengukuhkan kepastian hukum itu sendiri, sepanjang ia memang sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

Asas Retroaktif Dan Potensi Kesewenang-Wenangan Penguasa
Penerapan asas retroaktif, yang berarti penyimpangan asas legalitas, seringkali dianggap sangat bertentangan dengan konsep negara hukum yang di antara pilar utamanya adalah asas legalitas. Hal ini karena dengan diperbolehkannya penerapan asas retroaktif, berarti membuka potensi kesewenang-wenangan penguasa terhadap warganya, pengakuan “lex talionis” dan bahkan membuka peluang terjadinya “political revenge”. Apabila keadaan tersebut sampai terjadi, maka pilar utama negara hukum sudah runtuh, dan lebih jauh lagi, dapat menimbulkan ‘chaos’ dalam kehidupan negara.
Tampaknya anggapan yang demikian terlalu berlebihan. Dalam hal ini patut untuk dicermati apa yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita dalam salah satu tulisannya yang menyatakan:
“Adagium bahwa runtuhnya asas legalitas merupakan keruntuhan suatu negara hukum hanyalah merupakan mitos semata-mata yang dibangun untuk memperkuat cengkraman pandangan (ideologi) individualistik dan memperluas pengaruhnya ke dalam kehidupan bangsa dan negara yang secara historis menganut paham kolektivisme, termasuk bangsa dan negara Indonesia sendiri”.[55]

Benar apa yang dikatakan oleh Romli Atmasasmita, sebab mitos-mitos tersebut memang dibangun dengan tanpa didasari alasan logis dan kuat. Mitos tersebut dibangun berdasarkan logika yang membayangkan bahwa pemerintahan saat ini sama dengan pemerintahan raja-raja di era Ancient Regime.
Ketakutan yang demikian itu sebenarnya sudah tidak layak dipertahankan saat ini, karena kondisi sekarang yang sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi ketika asas legalitas dilahirkan. Hukum pidana memang harus tertulis, untuk menghindari kesewenang-wenangan dari hakim dan alat-alat perlengkapan negara yang lainnya, di samping untuk kepastian hukum. Pada akhir abad 18, prinsip ini patut untuk ditegakkan secara rigid dan strict, sebab ketika itu kekuasaan memang sangat totaliter dan tiranis. Namun seiring dengan perjalanan sejarah dan perubahan kondisi, prinsip yang demikian tidak perlu ditegakkan secara terlalu ketat. Ini karena dengan adanya ajaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan, masing-masing organ negara telah dipisah-pisahkan dan saling mengawasi satu sama lain. Kalau dulunya hakim dapat juga bertindak sebagai pembuat undang-undang, maka di era sekarang kekuasaan pembentukan undang-undang sudah tidak lagi di tangan para hakim, sehingga hakim hanya tinggal menegakkannya saja.[56]
Kalau ketakutan akan potensi kesewenang-wenangan penguasa tersebut dikaitkan dengan kondisi Indonesia, maka ketakutan tersebut akan terlihat sangat tidak relevan. Prinsip ‘checks and balances’ di Indonesia sudah terbangun kuat dan konstitusi juga telah mengatur secara rinci kekuasaan masing-masing lembaga. Dalam pertimbangannya pada putusan pengujian UU Pengadilan HAM atas UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mengatakan:
“….di dalam masa penjajahan, era orde lama dan orde baru, ketidaksetujuan dan kekuatiran para ahli hukum saat itu terhadap pemberlakuan asas retroaktif dapat dipahami karena kondisi negara dan kekuasaan yang tidak populis dan tidak responsif terhadap masyarakatnya sehingga aspek "political revenge" menjadi hal yang sangat ditakuti. Hal ini tentu saja menjadi berbeda dengan masa era reformasi yang serba transparan terhadap pengakuan dan penghargaan HAM saat ini. Pemberlakuan asas retroaktif menurut para ahli hukum saat ini sangat dimungkinkan dan dapat dipertimbangkan sepanjang diberlakukan secara khusus dan tertentu”.[57]

Selain itu, kontrol pers juga berjalan sangat baik, bahkan terkadang cenderung kebablasan. Kalaupun penerapan asas retroaktif tersebut bersifat sewenang-wenang ataupun disalahgunakan untuk tujuan ‘political revenge’, maka sudah ada Mahkamah Konstitusi yang siap menerima permohonan untuk menguji dan kemudian membatalkannya.
Ada yang mengatakan bahwa penerapan asas retroaktif itu berarti pengakuan terhadap ‘lex talionis’, maka harus diperjelas dulu apa itu ‘lex talionis’, agar persoalannya bisa dipahami secara utuh. Lex Talionis adalah konsep hukuman selalu menghendaki pembalasan yang sama persis dengan perbuatan pelaku, dan sangat menekankan pada kepuasan batin korban.[58]
Dengan demikian, mengaitkan asas retroaktif dengan lex talionis tampak sangat janggal. Penerapan asas retroaktif memang sangat dekat dengan retributive teori, namun bukan berarti bisa diambil kesimpulan bahwa penerapan asas retroaktif merupakan pengakuan terhadap lex talionis, sebab lex talionis tidak identik dengan retributive teori. Dalam retributive teori, sikap batin pelaku masih mendapat perhatian, sedangkan dalam lex talionis, hal ini diabaikan, karena yang dikejar adalah kepuasan balas dendam. Lex talionis memiliki banyak perbedaan dengan alasan pemidaan atas dasar retributive.
Pelanggar memiliki hak, sehingga pelanggar harus ditempatkan sesuai proporsi yang semestinya tanpa melupakan hak korban atas keadilan. Perlindungan terhadap hak pelanggar dari kesewenang-wenangan penguasa dengan cara membatasi kekuasaan pemerintah memang perlu. Namun hal ini jangan sampai berlebihan, sehingga dapat menutup sama sekali kesempatan bagi pemerintah untuk menegakkan keadilan atas kejahatan yang belum diatur oleh undang-undang, atau sudah diatur, tapi pengaturannya kurang memadai. Salah satu cara untuk memberikan kesempatan pada pemerintah dalam melaksanakan tugasnya ketika undang-undang yang ada kurang memadai, adalah dengan tidak melarang secara mutlak penerapan asas retroaktif.




D. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tentang kedudukan dan justifikasi teoritis penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam yang telah dikemukakan di muka, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Bila dilihat dari sudut pandang asas legalitas yang ada dalam hukum pidana, asas retroaktif jelas bertentangan dengannya, terutama dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 2 Algemene Bepalingen. Meskipun demikian, ketika asas tersebut diterapkan dalam suatu UU khusus, kedua undang-undang tersebut tidak bisa menyebabkan asas retroaktif menjadi asas yang tidak boleh diterapkan dalam hukum pidana. Penentuan boleh atau tidaknya asas retroaktif diterapkan dalam hukum pidana adalah dengan melihat ketentuan Pasal 28 I ayat (1) Amandemen Kedua UUD 1945 yang menganut prinsip non-retroaktif. Ternyata Pasal 28 I tersebut dibatasi oleh Pasal 28 J UUD 1945, sehingga asas retroaktif boleh-boleh saja diterapkan sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ada dalam Pasal 28 J UUD 1945.
2. Dasar pemikiran yang dapat memberikan justifikasi teoritis pada penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana adalah karena asas retroaktif terkadang dibutuhkan demi mewujudkan tujuan hukum pidana yang seimbang. Bila dilihat dari alasan pemidanaan, penerapan asas retroaktif dapat memperoleh justifikasi, terutama dari teori retribusi, di samping penerapan ini juga secara otomatis akan mewujudkan apa yang dikehendaki oleh teori tujuan. Adapun persoalan kontroversi penerapan asas retroaktif, argumen yang ada di dalamnya semua masih layak untuk diperdebatkan, sehingga tidak bisa dianggap sesuatu yang bersifat mutlak.

BAGI YANG SETUJU DAN MEMBUTUHKAN TULISAN KAMI INI SILAHKAN MENDOWNLOAD SECARA GRATIS. NAMUN TIDAK BOLEH DIKOMERSILKAN.
DAN APABILA ADA SARAN, KRITIK, KOMENTAR SILAHKAN TINGGALKAN KOMENTAR MELALUI BLOG KAMI ATAU DIKIRIM MELALUI e-mail : thunks.fatikhun@gmail.com





DAFTAR PUSTAKA


1. BUKU

- Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 1991

- ____________. Hukum Pidana Politik. Pradnya Paramita. 1992

- Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Penerbit Alumni. Bandung. 1987

- Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita. Jakarta. 2000

- Bambang Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1985

- Budiono Kusumohamidjojo. Ketertiban Yang Adil: Problematik Filsafat Hukum. Grasindo. Jakarta. 1999

- C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Balai Pustaka. Jakarta. 2000. Jilid I

- D. Schaffmeister et.al.. Hukum Pidana. editor penerjemahan: Sahetapy. Liberty. Yogyakarta. 1995

- E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Tjetakan Kesembilan. t. penerbit. Djakarta. 1966

- Hans Kelsen. General Theory of Law and State. (translated by Anders Wedberg). Harvard University Press. Cambridge. 1949

- John Rawls. A Theory of Justice. Oxford University Press. London. 1976

- Lili Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002

- Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan. Kanisius. Yogyakarta. 2002

- Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. 1987

- Mudjiono. Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Liberty. Yogyakarta. 2000

- Muhari Agus Santoso. Paradigma Baru Hukum Pidana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2002

- Muladi (ed.). Hak Asasi Manusia: Hakikat. Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Refika Aditama. Bandung. 2005

- Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. 1998

- Muladi. Demokratisasi. Hak Asasi Manusia. dan Reformasi Hukum di Indonesia. The Habibie Center. Jakarta. 2002

- Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. 1992

- Oemar Seno Adji. Hukum Pidana Pengembangan. Erlangga. Jakarta. 1985

- S. R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Alumni Ahaem. Jakarta. 1989

- Satochid Kartanegara. Hukum Pidana. Bagian Satu. Balai Lektur Mahasiswa. t. tempat.. t. tahun. hlm. 183

- Soedjono Dirdjosisworo. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2002

- Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung. 1992

- Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Kanisius. Yogyakarta. 1995

- Van Schravendijk, Buku Peladjaran Tentang Hukum Pidana Indonesia. J. B. Wolters. Jakarta. 1956

- Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Ketiga. Ctkn. Pertama. Refika Aditama. Bandung. 2003

2. MAKALAH

- Barda Nawawi Arief. Masalah Asas Legalitas. Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi. Kerjasama ASPEHUPIKI dan FH UBAYA. Pandaan. Jawa Timur. 13-19 Januari 2002

- _________________. Pokok-Pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-Asas Hukum Pidana Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional berkerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. 26-28 April 2004

- Lobby Loqman. Perkembangan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional berkerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. 26-28 April 2004

- Muladi. Penerapan “Asas” Retroaktif dalam Hukum Pidana di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional berkerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. 26-28 April 2004

- Nico Keijzer. Terrorism and Criminal Law. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Hakikat dan Kebijakan Kriminal Kejahatan Terorisme” yang diselenggarakan oleh Laboratorium Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya. 21-22 Maret 2003 di Hotel Novotel Surabaya.

- Romli Atmasasmita. Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional berkerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. 26-28 April 2004

- Satjipto Rahardjo. Korban-Korban Kejahatan dan Kemungkinan Perlindungannya. Makalah disampaikan dalam Seminar tentang “Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan” yang diselenggarakan oleh LPPH Golkar. Jakarta 1 Juni 1994

3. PERUNDANG-UNDANGAN

- Undang-Undang Dasar 1945

- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

- UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


4. PUTUSAN PENGADILAN

- Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 013/PUU-I/2003 tentang Pembatalan Undang-Undang No. 16/200

- Mahkamah Konstitusi. Risalah Mendengarkan Keterangan Ahli Perkara Nomor 069/PUU-II/2004 Tentang Pengujian Pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002 Terhadap Pasal 28 Huruf I Ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945

- Mahkamah Konstitusi. Putusan Perkara No. 065 /PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar 1945

5. DATA ELEKTRONIK

- Pro Kontra Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana: Pertarungan Para Ahli. dalam http://www.hukumonline.com/.

- Indriyanto Seno Adji: “Kalau Tidak Diminta. Saya Tidak akan Mau Jadi Pengacara Puteh” dalam http://www.hukumonline.com/

- M. D. Kartaprawira, Qou Vadis Reformasi Hukum di Indonesia, dalam: www.xs4all.nl/~badjasur/kreasi/no1/quovadisno1.htm

- Suwono. Logika Hukum vs. Logika Publik. artikel pada harian Balipost. dalam:
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/5/13/o3.htm

- Slobodan Lekic. Indonesia's Military Win Concessions From Top Assembly. Associated Press August 18. 2000. dalam:
http://www.etan.org/et2000c/august/13-19/18idisgr.htm

- Ross Clarke. Retrospectivity and the Constitutional Validity of the Bali Bombing and East Timor Trials. hal. 3 dalam:
http://www.law.unimelb.edu.au/alc/assets/ajal_clarke_bali.pdf.

- William A. Schabas, Preserve Effect of Nulla Poena Principle: National Practice and The Ad Hoc Tribunals, EJIL, 2000, hlm. 524 (PDF Format) dalam:
www.ejil.org/journal/Vol11/No3/110521.pdf.

Lain-lain : Materi-materi dan Diskusi Perkuliahan pada Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.





[1] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 25.
[2] Stefan Binder, Where Does The Name “Nulla Poena” Come From?, dalam http://www.nullapoena./de/en/
[3] James Popple, The Right to Protection from Retroactive Criminal Law, Australasian Law Student’s Association Journal, 1989, vol. 2, hlm. 1, dalam: http://cs.anu.edu.au/~James.Popple/publications/articles/retroactive/
[4] Menurut Romli Atmasasmita, pemberlakuan secara ketat terhadap asas-asas hukum yang konservatif – di antaranya adalah asas legalitas – akan dapat menghambat pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional atau internasional seperti: cyber crime, money laundering, terorisme, genocida, crimes against humanity, dan war crimes. Lihat catatan kaki no. 4 dari Romli Atmasasmita, Pengaruh Konvensi Internasional Terhadap Perkembangan Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional berkerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 26-28 April 2004, hlm. 2
[5] Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hlm. 175
[6] Barda Nawawi Arif, Pokok-Pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional berkerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 26-28 April 2004, hlm. 17
[7] Lihat, misalnya, penjelasan 4 Hakim Konstitusi tentang sejarah pembahasan Pasal 28 I Amandemen ke-2 UUD 1945 1945 dalam ‘dissenting opinion’ dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 013/PUU-I/2003 tentang Pembatalan Undang-Undang No. 16/2003, hlm. 62-63 dalam www.mahkamahkonstitusi.go.id/
[8] Utreht misalnya, sebagaimana dikutip oleh Lobby Loqman, keberatan jika asas legalitas yang ada dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP diterapkan di Indonesia karena akan menghalangi hukum pidana adat yang masih hidup dan akan terus hidup. Lihat Lobby Loqman, Perkembangan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional berkerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 26-28 April 2004, hlm. 6
[9] Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, hlm. 324-325; Van Scravendijk, Buku Peladjaran Tentang Hukum Pidana Indonesia. J. B. Wolters. Jakarta. 1956, hlm. 70-71.
[10] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Tjetakan Kesembilan. t. penerbit. Djakarta. 1966, hlm. 353
[11] Istilah ‘trias politika’ tidak ada dalam ajaran Montesquieu. Yang mengintrodusir istilah ini adalah Immanuel Kant.
[12] Van der Donk, T.v.S., 45, hal. 361 dalam Utrecht, Loc. Cit.; Zainal Abidin, Azas-Azas… Op. Cit., hlm. 168
[13] Ibid., hlm. 170
[14] Utrecht, Pengantar…. Op. Cit., hlm. 354
[15] Zainal Abidin, Azas-Azas… Op. Cit., hlm. 173
[16] Van Scravendijk, Buku Peladjaran Tentang Hukum Pidana Indonesia. J. B. Wolters. Jakarta. 1956, hlm. 71
[17] Ibid., hlm. 73
[18] Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 74
[19] Ibid.
[20] William A. Schabas, Preserve Effect of Nulla Poena Principle: National Practice and The Ad Hoc Tribunals, EJIL, 2000, hlm. 524 (PDF Format) dalam:
www.ejil.org/journal/Vol11/No3/110521.pdf. Lihat juga Muladi, Loc. Cit.
[21] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1985, hlm. 71-72
[22] Ibid.
[23] Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 4
[24] Armada Rianto, Positivisme Hukum Mahkamah Konstitusi; Kritik atas Pembatalan UU Antiterorisme Bom Bali, artikel dalam Kompas, 30 Juli 2004
[25] Harian Suara Merdeka, 8 Agustus 2004.
[26] Satjipto Rahardjo, Korban-Korban Kejahatan dan Kemungkinan Perlindungannya, makalah disampaikan dalam Seminar tentang “Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan” yang diselenggarakan oleh LPPH Golkar, Jakarta 1 Juni 1994
[27] E. Utrecht, Pengantar…. Op. Cit., hlm. 185
[28] Andi Hamzah, Hukum Pidana Politik, Pradnya Paramita, 1992, hal. 2-3.
[29] Lihat wawancara dengan Indriyanto Seno Adji, Indriyanto Seno Adji: “Kalau Tidak Diminta, Saya Tidak akan Mau Jadi Pengacara Puteh” dalam www.hukumonline.com
[30] Kompas, 18 Februari, 2000
[31] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 81-86
[32] Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
[33] Barda Nawawi Arief, Masalah Asas Legalitas, Bahan Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, kerjasama ASPEHUPIKI dan FH UBAYA, Pandaan, Jawa Timur, 13-19 Januari 2002, hlm. 6
[34] Lihat Pasal 1.2 UU HAM.
[35] Lihat Pasal 71 dan 72 UU HAM.
[36] Satjipto Rahardjo, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya, dalam Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia…Op. Cit., hlm. 225
[37] Lihat Mahkamah Konstitusi, Risalah Mendengarkan… Op. Cit., hlm. 26; Indriyanto Seno Adji juga sempat mengatakan bahwa korupsi termasuk pelanggaran HAM, bahkan sudah bisa dikatakan sebagai ‘gross violation of human rihgts’ berdasarkan International Covenant Economic and Social Right. Namun demikian, ia tetap tidak setuju bila asas retroaktif diterapkan untuk kasus korupsi. Lihat Kompas, 4 Mei 2001
[38] Kompas, 3 Mei 2001
[39] Lihat Satjipto, Hak Asasi…… Op. Cit., hlm. 217-218
[40] Lili Rasyidi dan Ira Thania Rasyidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 110-111
[41] Lihat Todung Mulya Lubis, Beberapa Persepsi Non-Barat Mengenai Hak Asasi Manusia, dalam Selo Sumarjan (penyunting), Hukum Kenegaraan Republik Indonesia: Teori, Tatanan, dan Terapan, Grasindo, Jakarta, 1993, hlm. 97-98
[42] Apeldoorn, Pengantar…. Op. Cit., hlm. 13
[43] Lihat Suwono, Logika Hukum vs. Logika Publik, artikel pada harian Balipost, dalam:
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/5/13/o3.htm
[44] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil: Problematik Filsafat Hukum, Grasindo, Jakarta, 1999, hlm. 133
[45] Lihat Hans Kelsen, General….. Op. Cit., hlm. 51-52.
[46] John Rawls, A Theory of Justice. Oxford University Press. London. 1976, hlm. 134
[47] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban…. Op. Cit., hlm. 122
[48] John Rawls, A Theory…. Op. Cit., hlm. 238
[49] Lihat M. Hadi Subhan, Keadilan “vis a vis” Kepastian Hukum, artikel dalam Kompas, 15 September 2004
[50] Muhari, Paradigma…. Op. Cit., hlm. 4.
[51] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban…. Op. Cit., hlm. 125
[52] Ibid., hlm. 126
[53] John Rawls, A Theory… Op. Cit., hlm. 237
[54] Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban…. Op. Cit., hlm. 152
[55] Romli Atmasasmita, Nasionalisme Pemberantasan Korupsi, artikel dalam harian Republika, 06 Mei 2005
[56] Argumen tersebut sebenarnya merupakan argumen dari mazhab modern dalam masalah penafsiran hukum pidana. Lihat Satochid Kartanegara, Hukum Pidana… Op. Cit., hlm. 169. Argumen madzhab modern tersebut menurut penulis relevan untuk digunakan dalam masalah penerapan asas retroaktif, sebab titik tekan argumen tersebut adalah membantah ketakutan yang berlebihan akan kesewenang-wenangan penguasa di era sekarang ini.
[57] Mahkamah Konstitusi, Putusan Perkara No. 065 /PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
[58] Definisi ini saya dapatkan dari DR. Angkasa dalam Perkuliahan Filsafat Hukum, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Tidak ada komentar: