Senin, 20 April 2009

TINJAUAN KONSEPTUAL HUKUM PIDANA INTERNASIONAL TENTANG KEJAHATAN HUMAN TRAFFICKING

TINJAUAN KONSEPTUAL HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
TENTANG KEJAHATAN HUMAN TRAFFICKING
Oleh Muhammad Fatikhun

I. PENDAHULUAN
Kehidupan umat manusia terbagi menjadi berbagai kelompok masyarakat yang didasari antara lain oleh suku, ras, agama, kesamaan tujuan dan latar belakang lainnya, sehingga terbentuklah suatu kelompok masyarakat, yang dalam skala lebih besar menjadi sebuah Negara. Didalam kelompok masyarakat atau Negara tersebut (karena memiliki latar belakang yang berbeda-beda), memiliki norma, aturan, nilai dan etika yang disepakati bersama, dalam rangka mengatur kehidupan diantara anggota kelompok masyarakat tersebut.
Keberadaan kelompok masyarakat dan/atau Negara itu tidak lepas dari proses dinamika sebagaimana kehidupan umat manusia yang mengalami perkembangan dan perubahan. Secara umum perkembangan itu dimulai dari masyarakat tradisional, menjadi masyarakat modern. Proses modernisasi terus berlangsung dalam kehidupan umat manusia, sehingga manusia memasuki era postmodern. Ternyata dinamika kehidupan umat manusia tidak berhenti sampai pada era postmodern, dan kemudian memasuki sebuah era yang disebut dengan globalisasi.
Globalisasi adalah adanya proses pada kehidupan umat manusia menuju masyarakat yang meliputi seluruh bola dunia. Proses ini dimungkinkan dan dipermudah oleh adanya kemajuan dalam teknologi, khususnya teknologi kamunikasi dan transportasi. Dalam masyarakat umat manusia yang global itu akan terjadi pola-pola hubungan sosial yang berbeda dari sebelumnya. Kemudahan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan jaringan komunikasi yang menjangkau setiap pelosok hunian, akan terjadi interaksi antar anggota dan antar kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.
Dalam konteks interaksi yang demikian, terjadi pertemuan atau silang antar budaya (norma, nilai atau etika dari suatu kelompok masyarakat). Pada proses berikutnya, dengan intensitas komunikasi dan interaksi yang tinggi, maka dapat menciptakan komunitas global, atau dengan kata lain, ada pendapat yang mengatakan bahwa seluruh umat manusia sedang menuju terbentuknya masyarakat paguyuban (gemeinschaft), karena umat manusia akan hidup dalam sebuah "desa buwana" (global village)[1].
Konsekuensi dari kehidupan yang demikian adalah dibutuhkannya system nilai atau norma universal yang dapat dijadikan sebagai acuan bersama bagi seluruh anggota masyarakat dengan latar belakang suku, ras, budaya dan Negara yang berbeda, namun tidak mengesampingkan atau menghilangkan system nilai, norma atau aturan (hukum) yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
System nilai dan norma universal itu tidak lain tujuannya adalah untuk menjaga dan melindungi kepentingan (bersama) masyarakat di semua Negara. Adanya kepentingan atau tujuan, tidak bisa dilepaskan dari dialektika, hubungan dan kontak yang bersifat jalin menjalin dan terus menerus, dalam rangka mencapai kepentingan masing-masing bangsa atau Negara, bahkan warga Negara atau bangsa tersebut. Sementara kepentingan dan tujuan ini, hanya dapat tercipta bila menjalin atau berhubungan dengan negara-negara lain. Kepentingan atau tujuan yang dimaksud, baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain.
Agar tidak merugikan salah satu Negara atau warga dari salah satu Negara, dalam posisi inilah dibutuhkan hukum yang berskala Internasional yang mengatur kehidupan antar bangsa atau Negara atau antar warga Negara. Hokum itu kemudian disebut dengan Hukum Internasional. Dan dalam konteks pidana disebut dengan Hukum Pidana Internasional.
Dewasa ini masyarakat internasional disibukkan dengan isu trafficking, yaitu perdagangan manusia. Trafficking ini disinyalir merupakan sindikasi antar Negara yang berskala internasional. Paling tidak, trafficking ini melibatkan beberapa Negara atau warga dari beberapa Negara.
Setiap tahun, kira-kira delapan hingga sembilan ratus ribu orang diperdagangkan melintasi batas internasional ke dalam kondisi kerja-paksa atau mirip perbudakan (Deplu AS, 2003). Meskipun angka yang pasti sulit diperoleh, akan tetapi terdapat bukti kuat bahwa perdagangan perempuan dan anak-anak di Asia merupakan fenomena yang benar-benar serius. Pemerintah, LSM, dan organisasi internasional, telah mendokumentasikan orang untuk kerja paksa, termasuk prostitusi paksa, antara lain dari Birma ke Thailand, Indonesia ke Malaysia, Nepal ke India dan Thailand ke Jepang (Human Rights Watch, 2000).
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa

trafficking adalah merupakan kejahatan (berskala internasional) yang bersifat extra ordinary. Maka dalam hal ini sangat dibutuhkan penanganan yang serius.

II. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah kebijakan hukum pidana internasional dalam masalah kejahatan perdagangan manusia (trafficking)?

III. PEMBAHASAN
a. Sumber Hukum Bagi Hukum Internasional
Seperti halnya hukum pada umumnya, Hukum Internasional juga mengenal sumber hukum formal dan sumber hukum material.[2]
1. Sumber Hukum formal Hukum Internasional
Sumber hukum formal bagi Hukum Internasional adalah perjanjian internasional (treaty) dan kebiasaan internasional (International custom). Di masa lalu sebagian besar Hukum Internasional terdiri dari hukum kebiasaan internasional. Namun sekarang hukum kebiasaan internasional sebagai sumber hukum formal tidak lagi mampu menetapkan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang diperlukan dalam pergaulan masyarakat internasional. Oleh karena itu peranan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal sekarang menjadi bertambah penting dalam memenuhi kebutuhan Hukum Internasional yang diperlukan, hal ini proses pembentukan aturan Hukum Internasional dengan menggunakan lebih cepat dibandingkan dengan hukum kebiasaan internasional.
2. Sumber hukum material Hukum Internasional
Sumber hukum materiil Hukum Internasional adalah prinsip-prinsip yang menentukan isi ketentuan Hukum Internasional yang berlaku. Prinsip-prinsip tersebut misalnya, bahwa setiap pelanggaran perjanjian menimbulkan kewajiban untuk memberikan ganti rugi, bahwa korban perang harus diperlakukan secara manusiawi, dan sebagainya. J.G. Starke menguraikan bahwa sumber-sumber hukum materiil Hukum Internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang digunakan para ahli Hukum Internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu.[3] Pada garis besarnya bahan-bahan hukum tersebut dapat digolongkan menjadi lima bentuk yaitu kebiasaan, traktat, keputusan pengadilan dan badan arbitrase, karya-karya hukum, keputusan atau ketetapan organ/lembaga internasional. Para ahli Hukum Internasional pada umumnya membahas sumber-sumber Hukum Internasional dengan bertitik tolak pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional.
Sumber Hukum Internasional yang ketiga menurut Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional adalah asas hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab (general principles of law recoqnized by civilized nation). Yang dimaksud dengan asas/prinsip hukum umum adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern yaitu sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi.[4] Tujuan dari pengakuan akan prinsip/asas-asas hukum umum ini pada dasarnya untuk menghindari keadaan yang tidak terbatas (open-ended) dan samar-samar. Hal ini diperkuat oleh pengalaman yang didapati oleh the Advisory Committee of Jurist, sebagai perancang statuta itu sendiri, yang menyatakan bahwa suatu keadaan dimana tidak terdapatnya jawaban dalam traktat maupun kebiasaan, hadirnya prinsip-prinsip hukum umum ditujukan untuk dimungkinkannya pengadilan menggunakan keadilan yang abstrak (abstract justice).[5]
Prinsip-prinsip hukum umum dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip hukum yang melandasi semua hukum yang ada di dunia baik Hukum Internasional maupun hukum nasional. Jadi istilah hukum umum disini melingkupi latar internasional maupun nasional. Hukum ini sifatnya sangat fundamental, karena berupa prinsip-prinsip dan melandasi semua kaidah-kaidah hukum positif, sehingga pemberlakuannyapun bersifat universal. Semua negara dianggap terikat pada prinsip-prinsip hukum umum terlepas apakah suatu negara menyetujui ataukah tidak. Artinya dalam hal ini unsur konsensual diabaikan.[6]
Sementara ini banyak asas-asas hukum umum, baik dibidang perdata maupun pidana berasal dari sistem hukum Romawi yang digunakan pula dibidang Hukum Internasional, misalnya Pacta Sunt Servanda (persetujuan antar bangsa harus ditaati), asas bonafide (asas etiket baik), asas reciprocity/resiprositas (asas timbal balik), asas et aequo et bono (asas berdasarkan keadilan), asas clausula sic stantibus (asas persetujuan hanya berlaku bila keadaannya tetap sama), asas musyawarah (friendly settlement), asas gotong-royong, asas diplomasi Indonesia (ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake), dari Afrika asas Yanu (right to ducation), asas mbotay (freedom of association) dan lain-lain. Asas-asas hukum dari bangsa-bangsa lain di duniapun memiliki nilai universal yang perlu diangkat, digali, dan diinventarisasikan.[7]
Asas/prinsip hukum umum memuat nilai-nilai moral yang luhur, agung dan relatif abadi, untuk itu perlu diteliti secara terus menerus. Asas-asas tersebut telah banyak dipakai/masuk dalam hukum positif internasioanal. Selain itu, kegunaan praktik bagi Mahkamah ialah keharusan menerima semua perkara yang diajukan, Mahkamah tidak dapat menolak (non liquit) dengan alasan aturan / dasar hukumnya tidak ada dan tidak jelas. Mahkamah harus mencari sendiri, sehingga ditemukan dasar hukum dari setiap kasus.
Lebih jauh lagi prinsip-prinsip hukum umum mempunyai pengertian yang ditetapkan dalam perancangan statuta MI. Dalam Travaux preparatoires, tahun 1920 yang berkaitan dengan Pasal 38 ayat 1 huruf c, advisory committe of jurist antara lain menyimpulkan.[8]
· Perkataan ”prinsip-prinsip hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab” dimaksudkan terdiri dari prinsip-prinsip yang diakui oleh semua bangsa dalam fora domestik (in foro domestico)
· Walaupun anggota-anggota komite menganggap bahwa prinsip-prinsip hukum umum menjadi baian dari hukum alam, prinsip-prinsip ini harus diterima oleh negara-negara.
· Prinsip-prinsip hukum umum harus berfungsi sebagai sumber di dalam kerangka kerja dari suatu kondisi peradilan.
Dengan demikian prinsip-prinsip hukum umum merupakan sumber bagi Mahakamah Internasional dalam menetapkan suatu ketentuan guna menyelesaikan perselisihan, yaitu dengan mengambil suatu ketentuan yang beasal atau bersumber dari prinsip-prinsip fundamental hukum yang memang telah diterima sebagai Hukum Internasional oleh negara-negara.
Dalam perkembangannya, sumber hokum internasional menjadi lebih kompleks yang kemudian mendorong para sarjana menambah daftar panjang dari sumber yang sudah ada, misalnya kebiasaan internasional, perjanjian internasional, keputusan pengadilan, doktrin atau pendapat para sarjana, keputusan atau resolusi-resolusi organisasi internasional, dll.[9]
Namun diantara sumber-sumber yang ada, perjanjian yang dilakukan antara negara-negara mempunyai peranan yang sangat mendasar. Selain perjanjian itu sendiri merupakan sumber Hukum Internasional, sekaligus juga sebagai cara bagi semua negara untuk mengembangkan kerjasama yang damai antar mereka. Menurut Mochtar Kusumaadmadja, yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.[10] Sehingga jelas yang dapat mengadakan perjanjian internasional haruslah subyek Hukum Internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. Pasal 2 Convensi Wina 1969 memberikan definisi treaty/perjanjian adalah international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation. Oleh Michel Virally Perjanjian internasional diartikan “a treaty is international agreement which is entered into by two or more states or other international persons and is governed by international law”.[11]
Ada beberapa istilah untuk menyebut perjanjian internasional yang biasa dipakai dalam hubungan antar negara. Istilah tersebut antara lain perjanjian (treaty), konvensi (convention), persetujuan (agreement), protokol (protocol), covenant, piagam (charter), statuta (statute), akta (act), deklarasi (declaration), concordant, pertukaran nota (exchange of notes), pertukaran surat (exchange of letter), modus vivendi, agreed minutes dan memorandum of understanding.[12] Pada umumnya penggunaan istilah tersebut digunakan untuk membedakan bentuk perjanjian yang penting, resmi atau bukan. Seperti misalnya treaty, bentuk perjanjian ini ditujukan untuk persetujuan-persetujuan internasional yang bersifat penting dan resmi, misalnya perjanjian mengenai perdamaian atau persekutuan.
Konvensi atau perjanjian internasional dapat berbentuk bilateral (yang menjadi pihak hanya dua negara) dan multilateral (yang menjadi pihak lebih dari dua negara). Konvensi-konvensi internasional yang merupakan sumber utama Hukum Internasional adalah konvensi yang berbentuk multilateral, law making treaties yaitu perjanjian-perjanjian internasional yang berisikan prinsip-prinsip yang ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum.[13] Dalam law making treaties ini negara-negara bersepakat merumuskan secara komprehensif prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum yang akan merupakan pegangan bagi negara-negara tersebut dalam melaksanakan kegiatan dan hubungannya satu sama lain. Dalam praktek, jumlah perjanjian yang bersifat bilateral jauh lebih banyak dari perjanjian multilateral.
Pasal 11 Konvensi Wina 1969 (Konvensi tentang Perjanjian Internasional) disebut beberapa cara pengikat diri dari perjanjian internasional.
1. penandatanganan (signature)
2. pertukaran instrument nota perjanjian (exchange of instruments constitution a treaty)
3. pengesahan/penguatan/ratifikasi (ratification)
4. penerimaan/akseptasi (acceptance)
5. persetujuan (approval)
6. peresmian, pelekatan (accession)
7. cara-cara lain yang disetujui bersama (any other means if so agreed).

b. Trafficking Sebagai Pidana Internasional
Protokol untuk mencegah, menindas, menghukum pelaku perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak-anak, serta tambahan konvensi PBB terhadap kejahatan Transnasional yang terorganisasi ( Protokol Perdagangan ), G.A. Res, 55/25, Annex II, 55 U.N. GAOR Supp. (No.49) at 60, U.N. Doc. A/45/49 (Vol.I) (2001), mulai berlaku 25 desember 2003 telah menentukan bahwa “Perdagangan Manusia” (human trafficking) meliputi semua tindakan yang terkait dengan perekrutan, pengangkutan, transfer, penjualan, atau pembelian manusia dengan pemaksaan, penipuan, pencurangan atau taktik-taktik pemaksaan lainya yang bertujuan menempatkan mereka dalam kondisi kerja paksa atau praktek-praktek serupa perbudakan, dimana kerja dikuras lewat cara-cara pemaksaan jasmaniah atau non fisik, termasuk pemerasan, penipuan, pencurangan, pengisolasian, pengecaman atang penggunaan kekuatan fisik, atau tekanan psikologis.
Kejahatan sebagai sebuah perilaku menyimpang, keberadaannya setua usia manusia itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan bahwa “ crime is the oldest socialproblem “ (Alper, 1973 : 85). Karena kejahatan merupakan masalah yang selalu melekat dalam kehidupan manusia. Dimana ada masyarakat disitu akan muncul kejahatan (Ubisocius ubi crimen). Karena kejahatan adalah hasil dialektika antara kejahatan dan masyarakat. Kejahatan adalah hasil masyarakat dan masyarakat menghasilkan kejahatan..
Meskipun jaman telah berubah, namun perbudakan atau eksploitasi manusia terhadap manusia yang lain terus terjadi. Ketika terjadi kesenjangan ekonomi yang tinggi sedangkan sumber ekonomi terbatas maka ini semua berpotensi untuk melahirkan kejahatan.
Organisasi Internasional yang memberikan perhatian terhadap buruh migran (IOM) memberikan definisi tentang perdagangan manusia sebagai berikut : trafficking in human beings occurs when a migrant is illicity engaged (recruited, kidnapped, sold, etc) and/ or moved, eithter within national or across international borders; intermediaries ( traffickers) during any part of this process obtain economicor other profit by means of deception, coercion and/or other forms of exploitation imder conditions that violate the fundamental human rights of migrants. ( http://www.iom.irn/).
PBB sendiri mendefinisikan “perdagangan manusia “ adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk persetujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain, atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan , perhambaan atau pengambilan organ tubuh.
Berdasarkan definisi PBB di atas, suatu kegiatan dapat dikategorikan perdagangan (trafficking) bila memenuhi salah satu faktor dari tiga kategori, yaitu : proses (perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, penerimaan), jalan/cara (ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kecurangan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan), dan tujuan (prostitusi, pornografi, kekerasan / eksploitasi seksual), kerja paksa, perbudakan / praktik-praktik serupa). Persetujuan dari korban tidak rugi lagi relevan bila salah satu dari tiga cara yang tercantum dalam kategori tersebut digunakan. Tidak lain, maka kegiatan tersebut dapat dikatangan trafficking in person.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, jelas bahwa trafficking merupakan Pidana Internasional. Oleh karena itu, mengingat prinsip-prinsip hukum Pidana Internasional, semestinya semua negara berkewajiban untuk menanggulangi trafficking tersebut.
Di masa lalu memang perdagangan manusia dipandang sebagai pemindahan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Namun kemudian perdagangan didefinisikan sebagai pemindahan manusia (khususnya perempuan dan anak), dengan atau tanpa persetujuan orang bersangkutan, di dalam suatu negara atau ke luar negeri, untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan ( servile marriage ).

A. KESIMPULAN
Perdagangan manusia atau Human trafficking merupakan kejahatan yang luar biasa. Ia merupakan kejahatan perbudakan modern atau modern slavery crime. Human Trafficking ini merupakan kejahatan transnasional atau paling tidak melibatkan beberapa negara. Sehingga Human Trafficking menjadi Pidana Internasional.
Oleh karena itu dibutuhkan komitmen semua negara untuk menanggulangi human trafficking tersebut. Komitmen tersebut harus diwujudkan dalam berbagai bentuk antara lain : perjanjian internasional, protokol, dan lain-lain, tentang pencegahan human trafficking.

DAFTAR PUSATAKA

Burhantsani, Muhammad, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty Press, Yogyakarta, 1990

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9, 1999

Mauna, Boer, Hukum Internasional : Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003

Phartiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003

Situni F.A. Whisnu, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1989

Salam, Abdul, Hukum Pidana Internasional, Restu Bandung Jakarta, 2006

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, , Trafficking in Person Report 2003,: U.S. State Departement, Washington D.C, 2003

Human Rights Watch, , Owed Justice : Thai Women Trafficking into Dept Bondage in Japan, Human Rights Watch, New York, 2000

Rosenberg, Ruth, , penyunting, Trafficking of Wommen and Childern in Indonesia, : International Catholic Migration Commission ang American Center for International Labor Solidarity, Jakarta, 2003

United Nation, 2003, Protokol untuk mencegah, menindas, menghukum pelaku perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak-anak serta tambahan konvensi PBB terhadap kejahatan Transnasional yang terorganisasi ( Protokol Perdagangan). G.A. Res. 55/25, Annex II, 55 U.N. Doc. A/45/49 (Vol.I) (2001), mulai berlaku 25 Desember 2003

Tamara, M Nasir dan Elza Peldi Taher (Editor), Agama Dan Dialog Antara Peradaban, Paramadina, Jakarta, 1996

Istanto, F. Sugeng, Hukum Internasional, Penerbit Universitas Atma jaya, Yogyakarta, 1998.

Thontowi, Jawahir, Hukum Internasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006

Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005.
[1]Nurcholis Madjid, "Kosmopolitanisme Islam Dan Terbentuknya Masyarakat Paguyuban", dalam, M Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (Editor), AGAMA DAN DIALOG ANTARA PERADABAN, Jakarta: Paramadina, 1996, hal. 37.
[2] Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, S.H., 1998. Hukum Internasional. Penerbit Universitas Atma jaya Yogyakarta. Hal. 10-11
[3] Dalam Dr. Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. PT Alumni. Bandung, hal. 8.
[4]Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. PT Alumni: Bandung. Hal. 148.
[5] Jawahir Thontowi, Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Refika Aditama: Bandung. Hal. 64.
[6] Whisnu Situni. 1989. Identifiksi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. CV Bandar Maju: Bandung. Hal. 94.
[7] Mochtar Kusumaadmadja, Etty R Agoes. Op.Cit. Hal 149.
[8] Ibid.
[9] Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D., Pranoto Iskandar, S.H., 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Refika Aditama. Bandung. Hal. 55.
[10] Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. PT Alumni: Bandung. Hal. 117.
[11] Wisnu Situni. 1989. Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. CV Bandar Maju: Bandung. Hal. 31.
[12] Sumaryo Suryokusumo. 2005. Hukum Perjanjian Internasional. Bahan Kuliah Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hal.23.
[13] Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. PT Alumni: Bandung. Hal. 9.

Tidak ada komentar: