Senin, 20 April 2009

PERKOSAAN DALAM PERNIKAHAN

PERKOSAAN DALAM PERNIKAHAN:
Penelitian dan Petunjuk Baru
Raquel Kennedy Bergen

Dengan kontribusi dari Elzabeth Barnhill

(diterjemahkan oleh Tim)

Perkosaan dalam pernikahan adalah suatu bentuk kekerasan pada wanita yang serius dan sudah menjadi hal yang umum. Sedangkan definisi yang benar di Amerika Serikat sangat bervariasi, perkosaan dalam pernikahan dapat diartikan sebagai hubungan atau penetrasi yang tidak diinginkan (vaginal, anal, atau oral) disertai dengan kekerasan, ancaman, atau ketika istri sedang berhalangan (Bergen, 1996; Pagelow, 1992; Russell, 1990). Banyak pembelajaran tentang perkosaan dalam pernikahan meliputi pasangan yang menikah dengan sah, terpisah, bercerai, atau kumpul kebo dengan pemahaman bahwa dinamika kekerasan seksual dalam jangka panjang dalam hubungan tersebut adalah sama dengan pasangan yang menikah (Mahoney & William, 1998). Sementara pembelajaran tentang perkosaan dalam pernikahan dapat dimasukkan pada pasangan homoseks pria dan wanita, terdapat pertumbuhan yang lambat dalam kepustakaan yang membahas kekerasan seksual pada hubungan seks sejenis (lihat Girshick, 2002).
Studi Diana Russell tentang kekerasan seksual yang melibatkan wawancara dengan 930 wanita dengan sampel perwakilan dari komunitas yang dipilih secara acak untuk membahas tentang perkosaan dalam pernikahan. Peneliti memperkirakan 10 sampai dengan 14% wanita menikah pernah mengalami perkosaan dalam pernikahan (Finkeljor & Yllo, 1985; Russell, 1990). Ketika peneliti telah mengamati jenis-jenis berbeda dari perkosaan, mereka menemukan bahwa perkosaan oleh pasangannya adalah hal yang umum. Dalam pembelajarannya tentang wanita Kanada, Randall dan Haskel (1995), menemukan bahwa 30% wanita yang mendapatkan kekerasan seksual adalah wanita dewasa yang diperkosa oleh pasangannya. Berdasarkan penemuan dari studi kekerasan pada wanita terbesar di AS, diperkirakan lebih dari 7 juta wanita telah diperkosa oleh pasangannya di Amerika Serikat (Mahoney, Williams & West, 2001; Tjaden & Thoennes, 1998). Jika mempertimbangkan jumlah wanita yang secara emosional merasa dipaksa untuk melakukan hubungan seks yang tak diinginkan dengan pasangannya, maka jumlahnya akan lebih tinggi. Dalam studi nasional, Basile (2002) menemukan 34% wanita mengindikasikan bahwa mereka melakukan hubungan seks yang tak diingini dengan pasangannya—lebih sering kali karena kewajiban pernikahan. Perkosaan dalam pernikahan dapat lebih sering terjadi ketika kita menyadari bahwa wanita yang mengalami perlakuan kasar mungkin berada pada keadaan yang memudahkan untuk diperkosa oleh pasangannya (Campbell, 1989; Pence & Paymar, 1993).
Walaupun perkosaan dalam pernikahan telah menjadi hal yang umum, namun bentuk kekerasan pada wanita ini belum mendapat perhatian yang cukup dari pakar sosial, praktisi, sistem peradilan pidana, dan masyarakat luas (Bergen, 2005). Kenyataannya tidak sampai tahun 1970an, kita sebagai masyarakat, untuk mengakui bahwa perkosaan dalam pernikahan memang sering terjadi. Sekarang terdapat bukti yang dapat dipertimbangkan bahwa perkosaan dalam pernikahan masih dirasakan sebagai kejahatan yang kurang diperhatikan dibandingkan bentuk perkosaan lainnya dalam budaya kita dan beberapa studi telah menemukan sejumlah partisipan yang masih mempertanyakan apakah mungkin untuk memperkosa istri kita sendiri (Whatley, 2005; Kirkwood & Cecil, 2001). Dalam studi baru-baru ini tentang sikap mahasiswa, Monson, Byrd, dan Langhinrichsen-Rohling (1996) menemukan bahwa perkosaan dalam pernikahan dirasakan sebagai kejahatan yang kurang serius dibandingkan dengan perkosaan oleh orang asing dan hanya 50% siswa pria berpendapat bahwa mungkin bagi seorang suami untuk memperkosa istrinya.

Isi dari laporan ini adalah untuk membahas dengan singkat apa yang dikenal dengan perkosaan dalam pernikahan (untuk tinjauan lengkap lihat Mahoney &Williams, 1998; Bennice & Resick, 2003). Laporan ini akan memberikan ikhtisar penelitian tentang perkosaan dalam pernikahan dengan (1) sejarah singkat perkosaan dalam pernikahan; (2) diskusi tentang terjadinya perkosaan dalam pernikahan; (3) ringkasan dari efek perkosaan dalam pernikahan; (4) analisis intervensi praktisi dengan orang yang mengalami perkosaan dalam pernikahan.

Sejarah Singkat Perkosaan Dalam Pernikahan

Perhatian yang diberikan pada perkosaan dalam pernikahan kebanyakan diberikan oleh komunitas hukum. Ini telah terjadi karena sepanjang sejarah masyarakat, merupakan hal yang wajar bagi pria untuk memaksa istrinya melakukan hubungan seks sesuai dengan keinginannya. Definisi tradisional tentang perkosaan di Amerika Serikat adalah “hubungan seksual antara seorang pria dengan wanita yang bukan istrinya tanpa kemauan wanitanya” (dikutip dari Barshis, 1983, p. 383). Seperti yang diperdebatkan Finkelhor dan Yllo (1985), ini menyediakan suami suatu pembebasan dari penuntutan karena memperkosa istrinya—sebuah “ijin untuk memperkosa” (lihat Drucker, 1979; Eskow, 1996; Sitton, 1993, untuk diskusi tentang pembebasan dari pernikahan). Fondasi dari pembebasan ini dapat dilacak kembali dari pernyataan yang dibuat Sir Matthew Hale, ketua peradilan Inggris pada abad 17. Hale menulis, “Tapi suami tidak dapat disalahkan atas perkosaan yang dilakukan dirinya terhadap istrinya yang sah, karena hubungan perkawinan dan kontrak istri telah menyerahkan dirinya sepenuhnya pada suaminya yang tidak dapat ditarik kembali” (dikutip dari Russell, 1990, hal. 17). Ini membuat pendapat jika sekali menikah, seorang wanita tidak mempunyai hak untuk menolak seks dengan suaminya. Dasar pemikiran ini bertahan sampai tahun 1970an ketika beberapa anggota dari gerakan anti perkosaan memperdebatkan eliminasi dari pembebasan suami karena gagal menyediakan perlindungan dari perkosaan pada semua wanita (Bidwell& White, 1986; Finkelhor & Yllo, 1985).
Pada 5 Juli 1993, perkosaan dalam pernikahan menjadi kejahatan di 50 negara bagian, dibawah sekurangnya satu seksi kekerasan seksual. Laura X dari National Clearing-house on Marital and Date Rape, menyediakan Grafik Hukum Negara Bagian di website-nya (http://ncmdr.org) yang menunjukkan status dari tiap negara bagian bertalian dengan pembebasan perkosaan dalam pernikahan mereka. Pada Mei 2005, di 30 negara bagian, masih terdapat pembebasan yang diberikan pada suami dari penuntutan perkosaan. Di 30 negara bagian ini, seorang suami dibebaskan ketika dia tidak menggunakan kekerasan karena istrinya dalam keadaan yang memudahkan untuk diperkosa (contoh, secara mental dan fisik sedang lemah, tidak sadar, tertidur, dll) dan sedang tidak berkeinginan (Bergen, 1996; Russell, 1990; NCMDR, 2005). Karena kontrak pernikahannya, keinginan istri hanya diasumsikan.
Keberadaan dari beberapa pembebasan suami di mayoritas negara bagian menandai bahwa perkosaan dalam pernikahan masih diperlakukan sebagai kejahatan yang kurang serius daripada bentuk perkosaan lainnya dan adalah bukti dari masyarakat patrilineal (DeKeseredy, Rogness, & Schwartz, 2004). Perkosaan dalam pernikahan yang terus-menerus ini, membawa pesan bahwa bagaimanapun tindakan seperti ini kurang patut untuk ditegur dibandingkan dengan bentuk lain perkosaan. Adanya pembebasan suami menandai penerimaan pemahaman kuno bahwa istri adalah properti suaminya dan kontrak pernikahan adalah masih penguasaan atas seks (Russell, 1990).

Kejadian Perkosaan dalam Pernikahan

Sampai saat ini, penelitian terbaik untuk perkosaan dalam pernikahan datang dari wawancara dengan wanita yang mengalami kekerasan seksual. Badan dari penelitian ini memiliki batasan yang diberikan yaitu tidak mewakili wanita yang tidak pernah melaporkan pengalamannya mendapatkan kekerasan; dan mungkin mewakili wanita yang diperkosa dan dipukuli karena sampel wanita dalam perlindungan sering digunakan. Akan tetapi, pustaka ini telah menyediakan kita informasi yang penting tentang bagaimana wanita mengalami perkosaan dalam pernikahan. Informasi tentang perkosaan dalam pernikahan akan dihadirkan pada seksi berikut ini: (1) karakteristik sosial dari orang yang selamat; (2) jenis-jenis perkosaan dalam pernikahan; (3) faktor risiko dalam perkosaan dalam pernikahan.

Karakteristik Sosial Korban Perkosaan Dalam Penikahan

Penelitian pada perkosaan dalam pernikahan menandai bahwa bentuk kekerasan ini tidak dibatasi untuk wanita berumur tertentu, ras, etnis, kelas sosial, atau lokasi geografis. Dalam studi terbesar, Russell (1990) menemukan bahwa wanita diperkosa oleh pasangannya pada umur yang bervariasi, akan tetapi hampir dua pertiga istri diperkosa pertama kali oleh suaminya ketika mereka berumur di bawah 25 tahun. Kelas sosial adalah variabel yang lebih sulit untuk diukur dan keterangan dalam pustaka kurang menyakinkan. Russell (1990) menemukan bahwa wanita pada kelas menengah diwakili korban dari perkosaan dalam pernikahan sedangkan Finkelhor dan Yllo (1985) menemukan bahwa mereka yang berasal dari kelas bawah lebih banyak yang melaporkan perkosaan dalam pernikahan. Berhubungan dengan ras, Russell (1990) menemukan angka perkosaan dalam pernikahan pada wanita Afrika-Amerika lebih tinggi dibandingkan dengan wanita kulit putih, Latin, dan Asia. Walaupun kebanyakan penelitian ini dilakukan di area perkotaan, terdapat juga dalam badan penelitian yang menandai bahwa wanita di pedesaan juga berisiko tinggi mengalami kekerasan seksual (lihat DeKeseredy & Joseph). Websdale menemukan bahwa separuh dari wanita tersebut dalam studinya di area pedesaan diperkosa oleh pasangannya.
Terlalu banyak penghalang untuk mengakhiri kekerasan pada wanita yang diperkosa oleh pasangannya. Contohnya, Russell (1990) menemukan bahwa wanita kulit putih mempunyai kemungkinan kecil untuk tinggal dengan pasangannya dibandingkan wanita Afrika-Amerika, Latin, dan Asia. Wanita imigran sering menghadapi penghalang bertumpuk untuk meninggalkan dan ini benar untuk wanita yang status keimigrasiannya dikontrol oleh pasangan yang kejam—ketakutan akan dideportasi dan tidak melihat anaknya lagi mungkin mencegah mereka meninggalkannya (lihat Dasgupta, 1998)
Sumber ekonomi memainkan peran yang penting dalam kemampuan wanita untuk meninggalkan sebagaimana yang meninggalkan pasangannya biasanya adalah mereka yang secara finansial tidak mempunyai ketergantungan. Penelitian Russell juga mengungkap istri-istri tradisional (diukur dengan persesuaian peranan tradisional wanita dalam seks) kebanyakan menyalahkan diri mereka sendiri untuk kekerasannya dan tinggal dengan suaminya.


Jenis-Jenis Perkosaan Dalam Pernikahan

Wanita yang diperkosa oleh pasangannya seringkali mengalami kekerasan dalam jangkauan yang lebih luas. Jauh dari penggambaran populer “pertengkaran kecil antara suami istri”, perkosaan dalam pernikahan seringkali meliputi kekerasan fisik yang kejam, ancaman kekerasan, dan penggunaan senjata oleh pria pada pasangannya. Beberapa peneliti menemukan bahwa dibandingkan dengan pemukul, pria yang memukul dan memperkosa istrinya adalah pria yang berbahaya dan mempunyai kemungkinan akan mencederai istrinya dan berpotensi meningkat menjadi pembunuhan (Browne, 1987; Campbell,1989). Penelitian menandai bahwa dibandingkan dengan wanita yang diperkosa oleh kenalannya, wanita yang diperkosa oleh pasangannya biasanya mengalami hubungan oral atau anal yang tak diinginkan (Peacock, 1995). Penting untuk dicatat bahwa kekerasan ini mungkin banyak terjadi—20 kali bahkan lebih sebelum kekerasannya berakhir (Bergen, 1996; Finkelhor & Yllo, 1985; Russell, 1990).
Studi menggunakan sampel klinis wanita korban (atau membantu mencari wanita) mengungkap bahwa 20%-70% telah mengalami kekerasan seksual oleh pasangannya minimal satu kali (Bergen, 1996; Browne, 1993; Campbell, 1989; Mahoney at al, 1998; Pence & Paymar, 1993). Ini telah mendorong peneliti untuk memperdebatkan bahwa perkosaan dalam pernikahan adalah “perpanjangan dari kekerasan dalam rumah tangga” (Johnson & Sigler, 1997, hal. 22). Pada satu sisi, melihat perkosaan dalam pernikahan sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah logis karena peneliti menemukan bahwa mayoritas wanita yang diperkosa juga dipukuli oleh pasangannya. Dalam “perkosaan dengan pemukulan”, wanita mengalami kedua kekerasan fisik dan seksual (Finkelhor & Yllo, 1985). Wanita yang diperkosa dan dipukuli oleh pasangannya mengalami kekerasan dengan berbagai cara—contohnya, beberapa dipukuli selama kekerasan seksual dan diperkosa mungkin mengikuti episode kekerasan fisik dimana suami ingin “mendandani” dan memaksa istrinya berhubungan seks yang tak sesuai dengan keinginannya (Bergen, 1996; Finkelhor & Yllo, 1985). Wanita lainnya mengalami apa yang disebut dengan perkosaan “sadistis” atau “kerasukan”; kekerasan ini meliputi siksaan dan/atau tindakan seksual “jahat”dan seringkali kekerasan secara fisik. Pada jenis perkosaan ini, pornografi sering digunakan oleh pria yang sering memaksa pasangannya untuk melihat pornografi atau untuk memainkan seperti apa yang digambarkan dalam pornografi tersebut (Bergen, 1996; DeKeseredy & Joseph; Finkelhor & Yllo, 1985).
Beberapa telah memperdebatkan bahwa perkosaan dalam pernikahan tidak seharusnya digolongkan dalam kekerasan dalam rumah tangga karena pada masa lampau perkosaan dalam pernikahan dilupakan sebagai masalah tersendiri (informasi lebih lanjut tentang debat ini lihat Bergen, 1996 dan Russell, 1990). Sangat perlu untuk mengenali perkosaan dalam pernikahan sebagai bentuk kekerasan tersendiri karena untuk banyak wanita yang diperkosa dan dipukul, kekerasan seksual sangat menghancurkan dan trauma itu pasti dialamatkan secara khusus oleh penyedia layanan (Finkelhor & Yllo, 1985). Sebagai tambahan, sangat meragukan untuk menganggap bahwa semua korban perkosaan dalam pernikahan adalah istri yang dipukuli karena ini mengabaikan realita bahwa tidak semua wanita yang diperkosa suaminya mengalami bentuk kekerasan lainnya. Russell (1990) menemukan 4% sampel wanitanya yang telah menikah telah diperkosa oleh pasangannya tapi tidak disertai pemukulan. Pada apa yang disebut Finkelhor dan Yllo (1985) sebagai “pemaksaan untuk perkosaan”, suami hanya menggunakan sejumlah paksaan untuk memaksa istrinya; pemukulan mungkin bentuk karakteristik dari hubungan ini—ini merupakan 40% dari wanita yang mengalaminya. Jadi untuk menggolongkan perkosaan dalam pernikahan hanya sebagai perpanjangan dari kekerasan dalam rumah tangga menyisihkan wanita ini dan pengalamannya.
Peneliti yang menggunakan definisi luas dari kekerasan seksual untuk memahami sepenuhnya banyak wanita mengalami “seks yang tak diingini” atau seks sebagai sebuah kewajiban atau “tugas keiistrian” (Basile, 2002; DeKeseredy & Joseph; Finkelhor & Yllo, 1985). Sebagai contoh. Finkelhor & Yllo (1985) mencatat pentingnya paksaan sosial (wanita yang tertekan merasa melakukan seks sebagai hasil dari ekspetasi sosial dan budaya yang memandang pernikahan sebagai sebuah institusi) dan paksaan pribadi (wanita yang merasa tertekan melakukan seks ketika tidak ada satu pun ancaman seperti uang atau sokongan untuk anak) dalam mengalami perkosaan dalam pernikahan. Dalam studinya tentang wanita yang mengalami kekerasan seksual ketika mereka berpisah atau bercerai dari pasanganya, DeKeseredy dan Joseph mengklasifikasikan pengalaman wanita dalam empat kategori meliputi kontak seksual, paksaan seksual (yang meliputi hubungan yang tak diinginkan karena paksaan verbal), percobaan perkosaan, dan perkosaan. Setiap dari konseptualisasi ini sangat penting untuk membantu kita memahami kompleksitas dan nuansa wanita mengalami kekerasan seksual dengan pasangannya. Seperti yang akan kita bahas kemudian, ini penting bagi para praktisi yang mencoba untuk mengakhiri kekerasan pada wanita ini untuk melihat perkosaan dalam pernikahan dalam bentuk dan kompleksitasnya dengan tujuan untuk membantu mereka yang selamat.

Faktor Risiko
Kebanyakan peneliti perkosaan dalam pernikahan setuju bahwa bentuk perkosaan ini sebagai suatu tindak kejahatan; penyalahgunaan kekuasaan dimana seorang suami berusaha untuk mendirikan dominasi dan kontrol atas istrinya. Ketika penelitian mengungkapkan tidak adanya gambaran tokoh dari suami pemerkosa, pria ini sering digambarkan sebagai pencemburu, individu yang berkuasa untuk melakukan seks dengan “propertinya”. Beberapa peneliti telah mencatat bahwa pria lebih banyak yang memaki secara seksual pada pasangannya jika mereka mempunyai pelengkap yang kuat pada pria sebayanya yang mengesahkan kekerasan pada wanita (Dekeseredy & Joseph; Schwartz & Dekeseredy, 1997). Seperti yang ditandai sebelumnya, wanita yang dipukuli kemungkinan juga diperkosa oleh pasangannya (Frieze, 1983). Sebagai tambahan, kehamilan mungkin bisa menjadi faktor yang menyebabkan wanita pada risiko tinggi mengalami kekerasan secara fisik dan seksual (Bergen, 1996; Browne, 1993; Campbell, 1989). Dalam keadaan sakit atau wanita yang baru keluar dari rumah sakit juga menjadi faktor risiko bagi wanita menjadi lebih mudah diperkosa (Campbell & Alford, 1989; Mahoney & Williams, 1998). Wanita pada risiko tinggi mengalami kekerasan fisik dan seksual ketika mereka berusaha untuk meninggalkan pasangannya, karena menjadi tantangan bagi kontrol suaminya. Dengan cara yang sama, wanita yang berpisah atau bercerai juga berisiko tinggi terkena kekerasan seksual yang tidak berhenti ketika mereka berhenti untuk tinggal bersama (DeKeseredy et al., 2005; Dobash & Dobash, 1992; Kurz, 1997). Beberapa peneliti telah mencatat faktor berisiko lainnya meliputi penggunaan obat terlarang dan alkohol, dan pengalaman sebelumnya tentang kekerasan seksual pada korban. Akan tetapi, faktor-faktor ini dirasa lebih kontroversial dan penelitiannya jauh dari meyakinkan (Frieze, 1983; Russell, 1990; Whatley, 1993).

Efek-Efek Dari Perkosaan Dalam Pernikahan

Walaupun mitos lama menyatakan bahwa jika diperkosa pasangannya adalah kejadian yang kurang berarti menyebabkan trauma kecil, penelitian menandai bahwa perkosaan dalam pernikahan sering mempunyai konsekuensi yang berat dan lama. Efek fisik dari perkosaan ini meliputi cedera pada bagian vagina dan anal, terkoyak, rasa sakit, memar, otot terkilir, capek, dan muntah (Adams, 1993; Bergen, 1996). Wanita yang dipukul dan diperkosa oleh suaminya kemungkinan mengalami patah tulang, mata lebam, hidung berdarah, dan luka karena senjata tajam yang terjadi selama kekerasan seksual. Campbell dan Alford (1989) melaporkan bahwa satu setengah dari yang selamat pada sampelnya ditendang, dipukul, atau dibakar selama seks. Konsekuensi ginekologis spesifik dari perkosaan ini meliputi peregangan vagina, anal sobek, sakit panggul, infeksi saluaran kencing, keguguran, bayi lahir mati, infeksi kandung kemih, ketidaksuburan, dan potensi tertular penyakit termasuk HIV/AIDS (Campbell & Soeken, 1999; Eby, Campbell & Sullivan, 1995). Sebuah penelitian yang melibatkan Maman, Campbell, Sweat, dan Gielen (2000) menemukan bahwa terdapat hubungan antara risiko terkena HIV dan hubungan seksual atas paksaan. Terutama karena ketidakmampuan wanita untuk menggunakan kontrasepsi karena ancaman atau penolakan dari pasangannya untuk menggunakan kondom (Bennice & Resick, 2003; Eby et al., 1995). Ketidakmampuan untuk menggunakan kondom kemungkinan akan meyebabkan kehamilan yang tak diinginkan. Campbell dan Alford (1989) menemukan bahwa kira-kira 17% dari korban perkosaan dalam pernikahan melaporkan mengalami kehamilan di luar keinginannya. Studi yang sama menemukan bahwa 20% dari wanita yang diperkosa oleh pasangannya mengalami keguguran atau melahirkan tidak selamat (Campbell & Alford, 1989).
Beberapa peneliti telah membandingkan efek psikologis karena diperkosa oleh pasangannya dengan bentuk lain kekerasan. Wanita yang diperkosa pasangannya kemungkinan mengalami kekerasan yang berulang, serangan seksual, dan mereka yang diperkosa oleh seseorang yang mereka cintai dan percayai, tidak mengejutkan kalau korban perkosaan ini menderita konsekuensi psikologis jangka panjang (Kilpatrick et al., 1988; Frieze, 1983). Sama dengan korban kekerasan seksual lainnya, efek jangka pendek dari perkosaan ini meliputi cemas, syok, ketakutan yang mendalam, depresi, keinginan bunuh diri, susah tidur, dan trauma (Bergen, 1996; Kilpatrick et al., 1988; Russell, 1990; Stermac et al., 2001). Wanita yang diperkosa oleh pasangannya didiagnosa mengalami depresi atau kekhawatiran daripada korban kekerasan fisik dan mereka yang mengalami kekerasan seksual oleh mereka yang bukan pasangannya (Plichta & Falik, 2001). Efek jangka panjang meliputi susah makan, masalah tidur, depresi, bahaya seksual, masalah untuk membina suatu hubungan, penyimpangan kesan tubuh, dan rendah diri (Bergen, 1996; Frieze, 1983; Ullman & Siegel, 1993). Penelitian juga menandai bahwa efek psikologis kemungkinan akan bertahan lama—beberapa korban perkosaan ini melaporkan kembali, disfungsi seksual, dan sakit secara emosional bertahun-tahun setelah kekerasan (Bennice & Resick, 2003; Finkelhor & Yllo, 1985).
Sebuah isu yang belum mendapat perhatian adalah bagaimana perkosaan dalam pernikahan mempengaruhi anak-anak. Dalam salah studi untuk menguji pertanyaan ini, Campbell dan Alford (1989) menemukan bahwa 5% wanita dalam studinya mengindikasikan bahwa anaknya telah dipaksa untuk berpartisipasi dalam kekerasan seksual dan 18% wanita mengindikasikan bahwa anak-anaknya telah menyaksikan sebuah insiden perkosaan dalam pernikahan sekurangnya satu kali (dalam Mahoney & Williams, 1998). Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memahami sepenuhnya implikasi dari perkosaan dalam pernikahan bagi anak-anak dan anggota keluarga lainnya.

Intervensi Dengan Korban Perkosaan Dalam Pernikahan

Ini telah terdokumentasi dengan baik dalam studi tentang kekerasan terhadap wanita bahwa perkosaan adalah kejahatan yang harus dilaporkan (lihat Koss & Cook, 1998). Korban perkosaan mungkin mempunyai kesulitan untuk melaporkan pengalamannya tentang kekerasan seksual karena secara budaya memberikan persepsi umum tentang perkosaan dalam pernikahan dan hubungan wanita itu dengan pemerkosanya (Bergen, 1996; Russell, 1990). Wanita yang diperkosa oleh suaminya mungkin ragu-ragu untuk melaporkan karena kesetiaan pada keluarga, ketakutan akan balas jasa kepada pemerkosanya, ketakutan mereka jika tidak dipercaya, ketidakmampuan untuk meninggalkan hubungan, atau mereka tidak mengetahui jikalau perkosaan dalam pernikahan adalah melanggar hukum (Bergen, 1996; Browne, 1987; Russell, 1990). Alasan terakhir adalah banyak yang tidak mengetahui bahwa melakukan seks dengan paksaan dalam pernikahan termasuk dalam perkosaan. Beberapa mempercayai bahwa perkosaan oleh orang asing adalah “perkosaan yang sebenarnya”; dan wanita lainnya melihat bahwa seks dalam pernikahan adalah kewajiban dan mengartikan seks dengan paksaan sebagai “tugas keistrian”, bukan perkosaan (Bergen, 1996). Basile (2002) menemukan bahwa 61% wanita yang melakukan seks tanpa keinginannya dengan pasangannya adalah di luar kewajibannya. Jika mereka tidak menganggap ini sebagai perkosaan, maka mereka dapat melaporkan kekerasannya atau mencari bantuan dari luar.
Penelitian mengindikasikan bahwa ketika wanita mencari bantuan karena mengalami perkosaan dalam pernikahan, terdapat kesalahan pada petugas kepolisian, penyedia layanan kesehatan, penasihat keagamaan, pengacara, dan penasihat untuk menyediakan bantuan yang memadai. Lebih jauh, terdapat kebutuhan akan program yang bekerja dengan pria yang kejam untuk menunjuk pada kekerasan seksual dalam pekerjaannya. Seksi berikut akan membahas tentang kelompok penyedia layanan.

Polisi
Hanya terdapat sedikit penelitian yang menilai kecukupan respon polisi pada masalah perkosaan dalam pernikahan. Akan tetapi, mayoritas wanita yang melaporkan kekerasan pada polisi dalam studi yang dilakukan Bergen (1996), Frieze (1983), dan Russell (1989) menemukan bahwa petugas kepolisian tidak tanggap. Frieze (1983) berpendapat bahwa polisi kurang tanggap pada korban perkosaan dalam pernikahan dibandingkan pada korban pemukulan. Wawancara Bergen (1996) dengan korban perkosaan menyatakan bahwa ketika petugas kepolisian mengetahui bahwa pemerkosanya adalah suami wanita tersebut, mereka gagal untuk merespon panggilan dari korban perkosaan tersebut, mengecilkan hatinya untuk menceritakan keluhan, dan/atau menolak untuk menemaninya ke rumah sakit untuk membuat bukti medis. Akan tetapi, penelitian Bergen (1996) juga menandai bahwa seorang polisi yang baik dapat menangani kekerasan seksual pada wanita dan sangat penting untuk membantu sumber untuk memulai penyembuhan. Penelitian baru-baru ini oleh Stermac et al. (2001) bahwa dibandingkan dengan korban jenis kekerasan seksual lainnya, korban kekerasan seksual oleh suami lebih suka didampingi polisi dalam penanganan medis dan pengambilan bukti forensik. Rekomendasi untuk departemen kepolisian meliputi pendidikan petugasnya tentang hukum di negara bagiannya; mendidik petugas bagaimana untuk bertanya secara sensitif pada wanita tentang kekerasan seksual ketika mereka melakukan panggilan karena kekerasan dalam rumah tangga; melawan tingkah laku sexist yang menganggap wanita adalah properti suaminya; tanggung jawab kepolisian atas ketidak tanggapannya; dan melibatkan lebih banyak polisi wanita dalam kekerasan dalam rumah tangga dan kasus perkosaan (Bergen, 1996; Russell, 1990).

Penyedia Layanan Kesehatan
Korban perkosaan sering mengalami trauma fisik, karenanya mencari layanan kesehatan dari berbagai sumber meliputi praktisi keluarga, petugas ruang gawat darurat, dan dokter kandungan/dokter ahli kandungan adalah hal yang penting. Akan tetapi, beberapa peneliti telah mengamati bagaimana layanan kesehatan disediakan bagi wanita yang diperkosa pasangannya dan tidak jelas seberapa sering korban perkosaan mencari bantuan medis atau bagaimana layanan disediakan ketika bantuan dibutuhkan. Sebagai contoh, Mahoney (1999) menemukan bahwa wanita yang mengalami kekerasan seksual oleh suaminya dan suami sebelumnya kurang suka mencari layanan kesehatan daripada mereka yang diperkosa oleh orang asing. Sebaliknya, penemuan dari Stermac et al. (2001) mengindikasikan korban perkosaan dalam pernikahan (dibandingkan dengan perkosaan oleh pacarnya atau kenalannya) lebih suka didampingi polisi dalam layanan darurat, tes fisik, dan untuk pengumpulan bukti forensik. Tiap langkah ini penting terutama jika tuntutan kriminal diajukan (Campbell & Alford, 1989; Mahoney & Williams, 1998). Rekomendasi bagi penyedia layanan kesehatan meliputi menanyakan pada wanita korban kekerasan seksual dengan pasangannya secara sistematis; menaksir kekerasan fisik dan seksual selama kehamilan (lihat Bohn & Parker, 1993; Campbell, 1989); pelaksanaan melalui tes; tes untuk penularan penyakit secara seksual; dan mengumpulkan bukti forensik (Mahoney & Williams, 1998; Stermac et al., 2001). Profesional medis yang bekerja dengan korban seharusnya mengetahui kehamilan yang tak diharapkan, STD, dan HIV/AIDS berisiko tinggi menular pada korban kekerasan seksual (Bennice & Resick, 2003; Bullock, 1998). Sebagai tambahan, profesional medis dipersiapkan untuk menawarkan informasi dan sumber masyarakat jika korban menyingkap kekerasan seksual yang dialaminya (Bennice & Resick, 2003).

Penasihat Keagamaan

Banyak wanita merasa tidak nyaman untuk menghubungi polisi, dan memilih alternatif untuk berbicara dengan penasihat keagamaannya. Peneliti telah menemukan dukungan untuk wanita dalam hubungan kekerasan tidak selalu datang dari penasihat keagamaannya. Dalam suatu wawancara dengan korban, Bowker (1983) menemukan bahwa mereka telah menempatkan pendeta sebagai bantuan terakhir yang mereka minta. Penekanan oleh beberapa institusi keagamaan pada kewajiban istri “untuk mematuhi suaminya” dan kedosaan karena penolakan untuk berhubungan seks dengan suaminya, mengabadikan permasalahan perkosaan dalam pernikahan ini. Jadi, ini penting bagi pimpinan keagamaan untuk meminta pria bertanggung jawab atas kelakuan kekerasan seks mereka dan untuk melawan ideologi yang mengabadikan penyalahan korban (Adams, 1993; Bennice & Resick, 2003). Ini merupakan kebutuhan utama dari pimpinan keagamaan untuk mengakhiri kediaman yang mengelilingi perkosaan dalam hubungan intim dan secara umum “menamakan” bentuk kekerasan ini dan mengakui kelazimannya dalam masyarakat (Adams, 1993). Ada beberapa rekomendasi dari Yllo dan LeClerc (1988) dan Adams (1993) bagi penasihat keagamaan untuk membantu korban perkosaan, meliputi: mengundang wanita untuk membicarakan kekerasan seksual yang dialaminya, membantu wanita untuk menamakan kejadian itu sebagai “perkosaan”, fokus pada tanggung jawab pemerkosa bukan pada istri, dan melawan konvensi sosial yang melindungi perkosaan dalam pernikahan.

Pengacara Dan Penasihat

Dua sumber potensial yang mendukung korban perkosaan adalah perlindungan wanita korban dan pusat krisis perkosaan. Penelitian mengindikasikan secara historis banyak dari organisasi ini gagal mengatasi problem perkosaan ini (Bergen, 1996; Russell, 1990; Thompson-Haas, 1987). Berdasarkan peninjauan pada perlindungan wanita korban dan pusat krisis perkosaan di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Bergen (2005) mengungkapkan beberapa defisiensi dalam layanan yang disediakan. Contohnya, kurang dari separuh program perlindungan wanita korban (31%) dan pusat krisis perkosaan (49%) mengadakan pelatihan khusus pada staff anggotanya dan relawan tentang perkosaan dalam pernikahan. Penelitian Bergen juga mengungkapkan hanya 5% dari perlindungan wanita korban dan pusat krisis perkosaan menyediakan kelompok pendukung yang khusus diperuntukkan korban perkosaan. Wawancara dengan korban menandai bahwa mereka sering merasa pengalaman dan kebutuhannya berbeda dengan wanita yang disakiti atau diperkosa oleh orang lain yang bukan pasangannya (Bergen, 1996; Hanneke & Shields, 1985). Akhirnya, walaupun pusat krisis perkosaan dan perlindungan wanita korban secara rutin menanyai wanita yang mengalami kekerasan fisik dan seksual, lebih dari separuh (55%) secara teratur menanyai wanita yang mengalami perkosaan dalam pernikahan
Menanyakan tentang perkosaan dalam pernikahan merupakan suatu hal yang kritis karena wanita tidak mau merelakan informasi darinya. Selanjutnya, hanya menanyakan apakah seseorang “pernah diperkosa?” adalah tidak efisien karena banyak korban perkosaan tidak menganggap kekerasan seksual sebagai perkosaan. Lagipula, wanita seharusnya ditanyai seolah-olah pasangan mereka “memaksa mereka melakukan sesuatu secara seksual yang mereka rasa tidak nyaman untuk melakukannya,” “menekan mereka untuk berhubungan badan,” “bercinta ketika mereka tertidur,” “memaksa mereka untuk berhubungan seks tanpa keinginan” dan lain sebagainya (Bergen, 1996; Hanneke et al., 1986; Russell, 1990).
Sekali pertanyaan ini ditanyakan, penyedia layanan harus dipersiapkan untuk menyaksikan cerita yang akan diceritakan oleh korban. Penelitian Bergen (1996) mengindikasikan bahwa penyedia layanan untuk menangani kekerasan dalam rumah tangga merasa tidak nyaman mendengarkan kekerasan seksual yang dialami oleh wanita dan mereka merasa kekurangan informasi yang diperlukan untuk menanggapi wanita ini. Pelatihan untuk para staff dan relawan tentang perkosaan dalam pernikahan merupakan hal yang kritis; program seperti itu seharusnya secara luas menunjuk pada karakteristik perkosaan dalam pernikahan dan bagaimana untuk mengidentifikasi korban, hukum negara bagian tentang perkosaan dalam pernikahan, dan teknik bimbingan. Pusat krisis perkosaan dan perlindungan wanita korban dapat menyediakan layanan yang bervariasi untuk korban yang meliputi perlindungan, medis, dan pembelaan sah. Banyak korban akan mendapat keuntungan dari bimbingan yang secara khusus membahas jenis kekerasan ini secara rutin. Idealnya, sebuah program akan menyediakan bimbingan pribadi sebaik kelompok unuk korban perkosaan. Sebagai alternatif, menawarkan korban pilihan bergabung dengan kelompok korban kekerasan seksual, wanita yang dipukuli atau keduanya adalah menguntungkan, sebagai individu wanita akan mendefinisikan kebutuhannya dengan berbeda.
Akhirnya, penting untuk kedua perlindungan wanita korban dan program krisis perkosaan untuk menuntut kepemilikan atas masalah ini dan bekerja sama. Ini dapat terjadi dengan memasukkan dalam pernyataan misi, menyediakan program pendidikan untuk masyarakat, dan mendistribusikan pustaka tentang perkosaan dalam pernikahan. Menyiapkan target untuk kelompok tertentu seperti orang cacat, dan mereka yang berada di pedesaan, hubungan sesama jenis, dan masyarakat yang tidak berbahasa asli Inggris yang tidak sadar akan adanya layanan merupakan hal yang kritis. Dalam menyediakan target, sangat penting jika penyedia layanan mempunyai pemahaman tentang norma budaya dalam masyarakat dan menyediakan layanan dengan cara yang tangkas secara budaya (Dasupta, 1998; Sullivan & Gillum, 2001).
Program Intervensi Pemukulan
Program intervensi pemukulan mempunyai peranan khusus untuk mengakhiri perkosaan dalam pernikahan disertai kekerasan seksual oleh pasangannya secara rutin. Ketika terdapat sedikit penelitian yang telah menguji tingkat kekerasan seksual dimasukkan dalam kurikulum program pemukulan, bukti anekdot menandai bahwa ini mungkin topik yang diabaikan. Seperti yang diungkapkan Yllo (1999), terdapat kemajuan yang berarti dalam perlawanan terhadap tingkah laku kekerasan pria secara fisik dalam pernikahan akan tetapi terdapat keheningan yang relatif diantara masalah perkosaan ini. Pence dan Paymar (1993) memusatkan masalah perkosaan pada pernikahan dalam sebuah segmen selama tiga minggu Duluth Domestic Abuse Intervention Project akan tetapi, seperti yang diungkapkan Yllo (1999), komponen pada kekerasan seksual tidak terjadi sampai tiga perempat kurikulum selesai. Dapat diperdebatkan bahwa program yang bekerja dengan pria kejam ini membutuhkan isu perkosaan dengan menanyai pria secara rutin (dari permulaan) tentang bagaimana penggunaan kekerasan seksual sebagai alat kontrol dan dominasi terhadap pasangannya. Secara sistematis pria seharusnya ditanyai tentang tingkah laku kekerasan seksual mereka secara luas dan mereka seharusnya bertanggung jawab atas kelakuan kasar mereka. Khususnya, program dapat memainkan peranan penting untuk mengakhiri perkosaan ini dengan melawan pemikiran pria bahwa pernikahan menyediakan mereka surat ijin untuk memperkosa (Finkelhor & Yllo, 1985).
Diluar yang sudah disebutkan tadi, terdapat bermacam profesional yang dalam posisinya untuk membantu korban perkosaan dan terdapat tubuh penelitian kecil yang membahas jenis khusus bantuan (lihat Bennice & Resick, 2003 untuk tinjuan rekomendasi bagi profesional yang bekerja dengan para korban perkosaan). Sebagai contoh, Weingourt (1985) menyediakan informasi tentang bagaimana komunitas psikiater dapat mengidentifikasi dan merawat korban perkosaan ini dalam prakteknya. Eskow (1996) menyediakan analisa detail tentang hukum perkosaan oleh suami di California dan beberapa pemikiran tentang bagaimana untuk memperbaiki strategi jaksa dan mendidik juri untuk meningkatkan perlakuannya pada korban perkosaan di pengadilan.

Kesimpulan Dan Petunjuk Mendatang

Walaupun pada kenyataannya perkosaan dalam pernikahan hanya menerima sedikit perhatian dari publik dan cendekiawan, ini termasuk salah satu masalah kekerasan yang paling serius diantara suami istri. Penelitian menandakan bahwa wanita yang diperkosa oleh suaminya biasanya mengalami kekerasan yang berulang dan sering menderita konsekuensi fisik dan emosional dalam waktu yang lama. Karena efek yang serius itu, terdapat keharusan bagi mereka yang berhubungan dengan korban perkosaan untuk menyediakan bantuan dan perlawanan terhadap mitos bahwa perkosaan oleh suami tidak mempunyai akibat. Penasihat krisis perkosaan dan pengacara untuk wanita korban merupakan tokoh penting dan berada di posisi terdepan untuk memperhatikan masalah perkosaan ini dalam masyarakat dan membantu korban dari kekerasan ini. Penting bagi mereka yang bekerja dengan pria yang memperkosa untuk angkat bicara mengenai perlawanan terhadap semua bentuk kekerasan terhadap wanita dan melawan rasa kepemilikan pria untuk berhubungan seks dengan pasangannya.
Di masa yang akan datang, peneliti seharusnya melanjutkan untuk mencoba menentukan kelaziman masalah ini dalam masyarakat melalui penggunaan sampel perwakilan dalam jumlah besar dan berskala nasional (Mahoney & Williams, 1998). Hanya terdapat sedikit penelitian tentang kekerasan seksual dalam masyarakat yang kecil dan penting untuk memahami keberadaannya dan menentukan jenis dukungan dan intervensi apa yang efektif. Salah satu area yang sangat membutuhkan perhatian adalah bagaimana anak-anak dipengaruhi oleh perkosaan dalam pernikahan. Hanya terdapat sedikit informasi tentang seberapa sering anak-anak menyaksikan, dipaksa untuk berpartisipasi, dan mempunyai pengetahuan kekerasan dari rumah tangganya. Dari segi kebijaksanaan, studi yang menyeluruh tentang bagaimana penyedia layanan kesehatan dan polisi menanggapi masalah perkosaan dalam pernikahan akan menjadi sangat penting. Juga dibutuhkan dalam penelitian sekarang untuk menentukan seberapa sukses tuntutan kriminal atas perkosaan ini di Amerika Serikat dan strategi yang efektif untuk penuntutan. Yang paling penting, peneliti seharusnya menyelidiki motivasi mengapa pria memperkosa istrinya dan mengadakan tindakan pencegahan dan strategi perawatan.

Penulis dokumen ini:
Raquel Kennedy Bergen, Ph.D
Ketua Departemen Sosiologi
Universitas Saint Joseph
5600 City Ave
Philadelphia, PA 19131
rbergen@mailhost.sju.edu




Konsultan:
Elizabeth Barnhill
Direktur Eksekutif
Koalisi Perlawanan Terhadap Kekerasan Seksual Iowa
515 28th St.
Des Moines, IA 50311
director@iowacasa.org
Hak Distribusi: Penelitian Terapan dan laporan singkat ini dapat dicetak ulang secara keseluruhan dan dikutip dengan pengakuan dari penulis dan VAWnet (www.vawnet.org), tapi tidak boleh diubah dan dijual untuk mecari keuntungan.


Kutipan yang Disarankan: Bergen, R. (2006, Februari). Marital Rape: New Research and Directions. Harrisburg, PA





REFERENSI
Sumber Perkosaan Dalam Pernikahan
Laporan Singkat
Perkosaan dalam Pernikahan: Penelitian dan Petunjuk Baru

Kira-kira 10-14% wanita yang menikah diperkosa oleh suaminya di Amerika Serikat. Kira-kira sepertiga wanita melaporkan pernah melakukan hubungan “seks yang tak diingininya” dengan pasangannya. Secara historis, kebanyakan undang-undang tentang perkosaan melihat perkosaan sebagai bentuk paksaan untuk berhubungan seksual pada seseorang yang bukan istrinya, sehingga ini memberikan ijin bagi suami untuk memperkosa. Pada Juli 1993, perkosaan dalam pernikahan menjadi kejahatan di 50 negara bagian, sekurangnya berada satu seksi di bawah kode penyerangan seksual. Di 20 negara bagian, District Of Columbia, dan federal tidak ada pembebasan untuk tuntutan perkosaan yang diberikan pada suami. Akan tetapi, di 30 negara bagian, masih terdapat pembebasan bagi suami yang memperkosa. Kebanyakan dari 30 negara bagian ini, pembebasan dilakukan karena suami tidak menggunakan kekerasan karena istrinya berada pada kondisi yang memudahkan (contohnya, dia lemah secara fisik dan mental, tidak sadar, tertidur, dll.) dan sedang tidak bisa untuk mengabulkan.
Wanita yang diperkosa suaminya biasanya diperkosa berulang kali—20 atau lebih. Mereka tidak hanya mengalami perkosaan vaginal, tapi juga oral dan anal. Peneliti mengkategorikan perkosaan ini dalam tiga bentuk; perkosaan dengan paksaan, perkosaan dengan pemukulan, dan sadistis.
Wanita yang mempunyai risiko tinggi diperkosa oleh pasangannya adalah dalam keadaan berikut:
*Wanita yang menikah dengan pria yang berkuasa yang melihat wanita sebagai “properti”
*Wanita yang berada dalam hubungan kekerasan
*Wanita hamil
*Wanita yang sakit atau dalam penyembuhan operasi
*Wanita yang berpisah atau bercerai

Ini merupakan sebuah mitos bahwa perkosaan dalam pernikahan dianggap kejahatan yang kurang serius dibandingkan dengan bentuk kekerasan seksual lainnya. Terdapat banyak konsekuensi fisik dan emosional akibat perkosaan ini:

· Efek fisik meliputi cedera pada bagian vagina dan anal, terkoyak, rasa sakit, memar, otot terkilir, kelelahan, dan muntah.
· Wanita yang dipukuli dan diperkosa menderita patah tulang, mata lebam, hidung berdarah, dan luka senjata tajam.
· Efek ginekologis meliputi peregangan vagina, sakit panggul, kehamilan yang tak diinginkan, keguguran, kematian bayi waktu dilahirkan, infeksi pendarahan, penularan penyakit secara seksual, HIV, dan ketidaksuburan.
· Efek psikologi jangka panjang meliputi susah tidur, susah makan, depresi, problem hubungan, rendah diri, dan disfungsi seksual.
Penelitian menandakan kebutuhan bagi mereka yang berhubungan dengan para korban perkosaan—petugas kepolisian, penyedia layanan kesehatan, pimpinan keagamaan, pengacara dan penasihat—untuk mengatasi masalah ini dan menyediakan sumber, informasi dan dukungan secara menyeluruh. Mereka yang bekerja dalam program intervensi pemukulan seharusnya bekerja juga untuk menghilangkan perkosaan ini dan mengatasi kekerasan seksual.

Tidak ada komentar: