Senin, 20 April 2009

HUKUM PERUSAHAAN DALAM ERA PASAR BEBAS

URGENSI PEMBARUAN HUKUM PERUSAHAAN DALAM ERA PASAR BEBAS
(Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas)

Oleh : Muhammad Fatikhun
Staff Pengajar Fakultas Syari'ah
Institut Agama Islam Imam Ghozali (IAIIG) Cilacap Jawa Tengah


PENDAHULUAN
Di Indonesia, peraturan tentang Perseroan Terbatas (PT) selama ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847:23). Sebagai bentuk badan hukum Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, hingga saat ini masih terdapat badan hukum lain dalam bentuk Maskapai Andil Indonesia sebagaimana diatur dalam Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonnantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen, Staatsblad 1939 : 569 jo. 717)[1].
Dalam konteks demikian, berarti terdapat dualisme peraturan tentang Perseroan Terbatas. Selain itu, dunia perdagangan mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga diperlukan pembaharuan peraturan, terutama tentang Perseroan Terbatas. Sebab dua peraturan tersebut dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat baik secara nasional maupun internasional, dan hal ini juga menuntut dunia Perusahaan baik sebagai produsen maupun penyedia barang dan jasa.
Dunia kini memasuki era pasar bebas, dan Indonesia sudah masuk secara resmi menjadi anggota WTO sejak tanggal 1 Januari 1995. Bahkan, Indonesia sudah membuat Undang-undang yang mengesahkan pembentukan WTO sebelum WTO itu berdiri, dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Sehingga ASEAN memiliki enam anggota, yaitu, Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam bergabung pada 1995, Laos dan Myanmar pada 1997 dan Kamboja pada 1999.PERMASALAHANBagaimanakah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dalam menghadapi Era Pasar Bebas? PEMBAHASANAturan-aturan WTOAturan-aturan WTO yang kita akui secara legal dan legitimate berdasarkan UU No. 7 tahun 1994 tersebut mengatur hampir seluruh bidang perdagangan, dari perdagangan barang, jasa dan juga aturan mengenai hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights). WTO sebagai organisasi yang mengatur perdagangan dunia, menghendaki sistem perdagangan dunia didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : without discrimination, freer, predictable, more competitive dan more beneficial for less developed countries. Namun bukan berarti aturan-aturan WTO itu merupakan suatu aturan yang sempurna dan harus diterapkan tanpa dipikirkan ulang. Setidaknya, ada beberapa aspek yang perlu kita pikirkan ulang. Pertama, adalah mengenai prinsip without discrimination yang diejawantahkan dalam klausul Most-favoured-nation (MFN) yang menuntut dan menuntun kita untuk memperlakukan secara sama setiap partner dagang kita dengan tidak mempertimbangkan apakah partner kita itu negara miskin atau kaya, lemah atau kuat; dan klausul National treatment yang menuntut dan menuntun kita untuk memperlakukan secara sama dengan tidak mempertimbangkan apakah partner kita itu pengusaha lokal (dalam negeri) atau pengusaha asing. Dua klausul ini secara tegas menghendaki penghapusan sistem proteksionisme yang mengandaikan beberapa previlege dalam perdagangan. Pada kenyataannya, dua klausul ini merupakan klausul yang tidak berbelas kasihan khususnya terhadap yang lemah dan miskin. Dalam konteks ini, Indonesia yang termasuk sebagai negara berkembang dalam perdagangan dunia dianggap dan harus diperlakukan sama dengan negara Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jepang dan negara-negara maju dan kaya yang lainnya. Kemudian, yang lebih mengkhawatirkan adalah klausul National treatment yang mengharuskan kita untuk memperlakukan sama pengusaha kecil dan menengah, lokal, dalam negeri yang memiliki modal terbatas dengan perusahaan-perusahaan asing dan atau multinasional. Jelas saja, pengusaha kecil dan menengah kita kalah bersaing dan tidak kompetitf, karena modal dan kapasitas yang mereka miliki berbeda dengan peruasahaan-perusahaan asing dan multinasional, namun mereka diperlakukan sama. Maka bukanlah hal yang aneh pula, jika kita mendapati bagaimana perusahaan-perusahaan asing dan atau multinasional membanjiri negeri kita, dari industri (perdagangan) hulu sampai hilir. Kita juga melihat betapa banyak pedagang-pedagang kecil di pasar-pasar tradisional harus gulung tikar bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan modern dan atau perusahaan penjualan grosir (supermarket). Belum lagi, dengan kondisi dan kebijakan perdagangan serta perindustrian yang kurang berpihak pada pengusaha kecil dan menengah, membuat mereka seperti mati suri. Maka tak heran pula, jika kita tidak pernah menjumpai usaha kecil dan menengah atau pengusaha dalam negeri di bidang-bidang yang strategis dan berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam. Seolah-olah bidang-bidang tersebut adalah eksklusif milik investor asing dan atau perusahaan multinasional. Dalam kondisi keputusasaan ini, maka tak jarang kita jumpai bagaimana
investor-investor dalam negeri melarikan usahanya ke luar negeri, yang kemudian disusul oleh investor-investor asing. Dalam hal ini, kita melihat bagaimana free trade tidak selalu sama dengan fair trade, pada kondisi ini hanya mereka yang memiliki daya survival tinggi yang mampu bertahan dan hidup.Kedua, adalah mengenai aturan-aturan tentang makanan (food) khususnya tentang produk pertanian (Agreement on Agriculture), perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman (Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures), produk pruduk susu (International Dairy Agreement) dan tentang daging sapi dan kerbau (Agreeement Regarding Bovine Meat). Berkaitan dengan makanan, Peter M. Rosset yang mengatakan bahwa makanan adalah sesuatu yang berbeda Food is different. Makanan bukan hanya barang dagangan atau komoditi. Makanan berarti pertanian, dan pertanian berarti kehidupan, tradisi dan budaya masyarakat rural. Pertanian artinya masyarakat rural, sejarah agraris; dalam beberapa kasus, kawasan rural merupakan tempat dimana budaya suatu bangsa dan rakyat suatu negara berasal (ROSSET 2006) Dengan alasan inilah, Peter M. Rosset mendukung usulan Lee Kyung Hae untuk mengeluarkan (aturan-aturan) WTO dari issue pertanian.Kembali ke konteks Indonesia, sebenarnya negara kita memiliki karakter sebagai negara agraris (di samping negara maritim), namun tampaknya kultur ini tercerabut dari akarnya. Kualitas dan kuantitas pertanian kita yang semakin menurun, dengan ditandai berulangnya kasus import beras tiap tahun sebelum masa panen tiba dan semakin banyaknya lahan pertanian di Indonesia yang berubah fungsi dengan alas an pembangunan. Bangsa kita yang dulunya swasembada beras, kemudian menjadi bangsa yang lapar. Ungkapan John Madeley آ« food for all آ» menjadi jauh panggang daripada api di Indonesia (MADELEY 2002). Dalam keadaan yang seperti itu masih saja ada pengu(a)sa(ha) yang mengambil untung di atas penderitaan orang lain. Indonesia benar-benar mengalami keadaan yang disebut oleh John Madeley sebagai (hungry for trade) (MADELEY 2001). Kemudian kondisi ini diperparah dengan kebodohan (tepatnya sikap membiarkan dan memanfaatkan kebodohan) masyarakat akan standart makanan yang layak, acapkali menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa (kelinci percobaan) produk-produk pertanian hasil rekayasa genetika (Organisme genetiquement modifie-OGM) "yang paten" dan pendsitribusiannya dikuasai oleh segelintir pengusaha (atau bahkan perusahaan multinasional) tak jarang pula penuh mengandung racun dan pestisida, ; dan atau produk-produk sampah (yang di negara asalnya sudah tidak layak dimakan), seperti nugget dan sosis yang diambil dari limbah pengolahan daging sapi atau unggas, serta import sayap dan leher ayam. Ketiga, adalah mengenai aturan-aturan yang berkaitan dengan hak-hak atas kekayaan intelektual. Perlindungan hak-hak atas kekayaan intelektual pada mulanya bertujuan untuk mempromosikan inovasi dan sekaligus investasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun kemudian permasalahan ini menjadi rumit saat dikaitkan dengan issue perdagangan dan kekayaan intelektual tidak lagi menjadi domain publik. Hak-hak atas kekayaan intelektual, khususnya paten dan merk menjadi alat monopoli golongan tertentu (yang sering diwakili oleh perusahaan multinasional) terhadap golongan yang lain.Dalam konteks pertanian misalnya, kita akan menjumpai suatu keadaan yang dideskripsikan oleh Ralph Nader (the world doesn't have free trade, it has corporate-managed trade). Article 27.3b perjanjian TRIPS yang bermuka dua, memperkecualikan tanaman dan hewan dari paten, namun di lain pihak tetap menuntut perlindungan HAKI atas varietas tanaman baru (yang sialnya varietas tanaman baru ini (ditemukan) perusahaan multinasional dari varietas yang ada sebelumnya, mereka hanya mengidentifikasi keunggulan varietas tersebut dan memberinya nama). Sebagai contoh konkret dalam masalah ini adalah kemenangan secara konterversial Rice Tec Inc. (perusahaan kecil yang berada di Texas, Amerika Serikat dan hanya memiliki 120 orang pekerja) pada bulan September 1997 atas hak paten terhadap varietas beras Basmati asal India dan Pakistan. Kasus (biopiracy) ini jelas merugikan banyak petani beras Basmati di India dan Pakistan, yang pada kenyataannya sudah membudidayakan varietas ini sejak jaman nenek moyang mereka.Kasus biopiracy yang dilakukan oleh Rice Tec Inc., akhirnya memunculkan banyak reaksi, khususnya dari Pemerintah India, yang merasakan secara langsung dampak kerugian terhadap paten tersebut. Pemerintah India dan Pakistan menganggap paten terhadap beras Basmati yang dilakukan oleh Rice Tec adalah sesuatu yang keliru, tidak berdasar dan misrepresentasi, karena menurut mereka hanya beras yang tumbuh di wilayah utara India dan Pakistan yang dapat disebut Basmati. Dari kasus ini pula, pemerintah India menyusun Undang-Undang tentang Geographical Indication of Goods Registration and Protection. Undang-undang ini tidak hanya memproteksi beras Basmati, tetapi juga barang-barang lain yang berasal dari India, seperti Darjeeling tea, Alphonso mangoes, Malabar pepper, atau Alappuzha cardamom. Kemudian usaha dan perjuangan pemerintah India ini pun berlanjut, mereka bersama Swiss, Uni Eropa, Republik Cekoslovakia dan Maroko memperjuangkan dengan sungguh-sungguh penguatan serta perluasan perlindungan Indikasi Geografis dalam bidang pertanian yang diatur dalam article 23 perjanjian TRIPs.Kemudian dari perdebatan mengenai Indikasi Geografis ini, bangsa Indonesia pun sekali lagi harus menderita, karena kita menjumpai banyak barang-barang asli Indonesia, semisal Tahu yang Indikasi Geografisnya milik Jepang, Keris milik Singapura, Batik milik Malaysia, Toraja Coffee milik Jepang, Java Coffee milik Amerika Serikat, dan sebagainya. Sekali lagi kita menjumpai bagaimana gagapnya bangsa kita menghadapi liberalisasi perdagangan dunia. Sampai saat ini pun, kita belum pernah mendengar usaha pemerintah kita untuk melindungi kekayaan alam hayati kita seperti yang dilakukan oleh Pemerintah India.Berkaitan dengan perjanjian TRIPs, kita dapat melihat bagaimana TRIPs sangat membebani negara-negara berkembang termasuk Indonesia (CHANG and GRABEL 2004). Pertama, beban yang dirasakan langsung oleh negara-negara berkembang, adalah besarnya pembayaran royalti yang harus dibayarkan ke perusahaan-perusahaan di negara-negara maju.Kedua, TRIPs telah meningkatkan kekuasaan perusahaan peruasahaan multinasional terhadap konsumen. Perusahaan-perusahaan ini berkat TRIPs tampak memiliki kekuasaan monopolistik, misalnya monopoli harga. Kasus yang paling menyeramkan adalah monopoli harga obat-obatan, yang menyebabkan harga obat menjadi mahal dan tak terjangkau, yang kemudian memprovokasi munculnya pemalsuan obat-obatan dan perdaganngan obat-obat palsu dan atau kadaluarsa di negara-negara berkembang dan terbelakang, termasuk Indonesia.Ketiga, rezim perlindungan HAKI yang sesuai TRIPs ini menuntut banyak biaya untuk diterapkan, semisal kebutuhan akan pengacara-pengacara dan konsultan-konsultan (yang berkaitan dengan hal teknis) dengan level (pengetahuan dan reputasi) internasional, terlebih lagi dalam kaitannya dengan sengketa HAKI di WTO, dan secara terus terang Indonesia belum siap menghadapi hal ini. Keempat, TRIPS telah memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaan-perusahaan di negara maju untuk mempatenkan proses dan kekayaan alam (natural processes and resorces) yang belum dipatenkan di negara-negara berkembang. Kelima, TRIPs kemudian pada akhirnya menghambat kemajuan negara-negara berkembang untuk melakukan inovasi. Problematika Hukum DagangLiberalisasi perdagangan di Indonesia, sebenarnya sudah di mulai sejak jaman Soekarno, hal ini dapat terbaca dalam UU No. 9 Tahun 1954 tentang Penetapan Undang-undang Darurat No. 24 Tahun 1951 tentang Pengubahan Beberapa Pos Tarip Bea Masuk (Lembaran Negara No. 104 Tahun 1951) sebagai Undang-undang dan UU No. 12 Tahun 1952 tentang Pembaharuan Bea-bea Spesifik dan Penggantiannya dengan Bea-bea Ad Valorem. Dalam kedua UU tersebut, khususnya UU No. 9 Tahun 1954, kita dapat menjumpai bagaimana peran Indonesia dalam liberalisasi perdagangan dunia di bawah sistem GATT 1947. Indonesia termasuk sebagai salah satu dari 31 negara-negara anggota GATT yang turut serta dalam perundingan di Torquay Round. Indonesia berdasarkan UU No. 9 Tahun 1954 tersebut sepakat terhadap penurunan tarip-tarip pabean yang berarti, dengan mengadakan persetujuan persetujuan atas dasar timbal-balik dan keuntungan kedua pihak, akan tetapi juga untuk mengurangi banyak adanya rintangan-rintangan perdagangan lainnya, begitupun untuk menghapuskan lambat-laun perlakuan-perlakuan yang bersifat diskriminasi pada perhubungan dagang internasional.Liberalisasi perdagangan yang berurat dan berakar sudah sejak lama ini diperparah dengan politik pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat. Sampai saat ini, jarang sekali kita jumpai atau bahkan dikatakan tidak pernah didapatkan Hukum Dagang yang membela kepentingan bangsa Indonesia yang memproteksi proses dan kekayaan alam Indonesia untuk kemaslahatan rakyat. Privatisasi BUMN, mahalnya harga beras dan produk pertanian lainnya (karena pencabutan subsidi pertanian), kelaparan, import masive produk pertanian (tanpa mencoba memperbaiki system pertanian kita) dengan tanpa mempertimbangkan aspek perlindungan kesehatan manusia, hewan dan tanaman (Sanitary and Phytosanitary Measures), pembuatan obat-obat palsu dan perdagangan obat-obat palsu dan atau kadaluarsa, lambatnya kemajuan dan inovasi teknologi di Indonesia, adalah gejala-gejala akut bagaimana hukum diperdagangkan kepada negara-negara maju dan perusahaan-perusahaan multinasional di negara-negara maju. Kesiapan Indonesia dan Trade-off Perdagangan BebasDengan semakin beragamnya barang dan jasa yang diperdagangkan dan media yang digunakan, baik dalam kawasan regional, nasional maupun internasional dan dengan semakin bebasnya perdagangan, semakin liberalnya perdagangan, dan semakin globalnya percaturan ekonomi dunia, maka mau tidak mau Indonesia harus ikut bergabung dalam perdagangan bebas tersebut. Sedikitnya ada 6 bentuk perdagangan besar (free trade) yakni European Free Trade Area (EFTA), European Economic Community (EEC), North Amnerican Free Trade Area (NAFTA), Australian New Zealan Clour Economic Relation (ANCER), Asia Pacific Economic Coorporation (APEC) dan Asean Free Trade Area (AFTA).Pertanyaan yang sering timbul di sekitar persoalan pasar bebas adalah sudah siapkah Indonesia? Akhir-akhir ini berbagai fenomena ekonomi agaknya sudah dapat menjawab kesiapan itu, bahkan lebih jauh justru tidak jarang tindakan/kebijakan yang kita ambil di sekitar persoalan perdagangan bebas tersebut justru bertolak belakang (trade-off) dengan apa yang seharusnya kita lakukan.Dalam mensikapi fenomena ini, Indonesia harus benar-benar jeli dan siap, agar dapat mengambil kemanfaatan dari perdagangan bebas tersebut, kalau tidak ia akan menggilas dan memakan kita sendiri. Betapa tidak, karena dalam perdagangan bebas sudah tidak dikenal lagi proteksi yang selama ini diterapkan dalam perdagangan antar negara (perdagangan internasional).Realitas yang demikian menuntut dunia usaha dan perusahaan (di Indonesia) sebagai produsen maupun penyedia barang dan jasa untuk mensikapinya. Sudah barang tentu pemerintah juga harus mempersiapkan melalui kebijakan-kebijakan dan undang-undang (peraturan hokum) yang dibutuhkan.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan TerbatasUndang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dibentuk atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847:23), sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi dan dunia usaha yang semakin pesat baik secara nasional maupun internasional;b. bahwa disamping bentuk badan hukum Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, hingga saat ini masih terdapat badan hukum lain dalam bentuk Maskapai Andil Indonesia sebagaimana diatur dalam Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (Ordonnantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen, Staatsblad 1939 : 569 jo. 717);c. bahwa dalam rangka menciptakan kesatuan hukum, untuk memenuhi kebutuhan hukum baru yang dapat lebih memacu pembangunan nasional, serta untuk menjamin kepastian dan penegakan hukum, dualisme pengaturan sebagaimana dimaksud dalam huruf b perlu ditiadakan dengan mengadakan pembaharuan peraturan tentang Perseroan Terbatas;d. bahwa pembaharuan pengaturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam huruf c, harus merupakan pengejawantahan asas kekeluargaan menurut dasar-dasar demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;Sedangkan latar belakang terbitnya undang-undang ini adalah setelah Pemerintah Indonesia menandatangani persetujuan AFTA. Jadi undang-undang ini dibuat guna mempersiapkan dunia usaha dan perusahaan dalam menghadapi Perdagangan bebas.Apabila kita kritisi undang-undang ini, sebenarnya memiliki warna atau corak yang relative berbeda dengan system ekonomi Pancasila, yaitu kekeluargaan. Terlepas dari apakah hal tersebut merupakan bentuk ketidak konsistenan pemerintah akan system ekonomi Pancasila tersebut atau bukan, yang jelas hal itu sudah menjadi keputusan yang diterbitkan dalam bentuk undang-undang.Perbedaan tersebut, antara lain dari sisi permodalan. Permodalan diatur dalam pasal 24 sampai dengan 33. ketentuan permodalan tersebut adalah sebagai berikut :
· Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham.
· Saham tersebut dapat dikeluarkan atas nama dan atau atas tunjuk.
· Modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
· Undang-undang atau peraturan pelaksanaan yang mengatur bidang usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal dasar perseroan yang berbeda
· Pada saat pendirian perseroan, paling sedikit 25 % (dua puluh lima persen) dari modal dasar harus telah ditempatkan.
· Setiap penempatan modal harus telah disetor paling sedikit 50 % (lima puluh persen) dari nilai nominal setiap saham yang dikeluarkan.
· Seluruh saham yang telah dikeluarkan harus disetor penuh pada saat pengesahan perseroan dengan bukti penyetoran yang sah.
· Pengeluaran saham lebih lanjut setiap kali harus disetor penuh.
· Penyetoran atas saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan atau dalam bentuk lainnya.
· Dalam hal penyetoran saham dilakukan dalam bentuk lain, penilaian harga ditetapkan oleh ahli yang tidak terikat pada perseroan.
· Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian.
· Bagi Perseroan Terbuka setiap pengeluaran saham harus telah disetor penuh dengan tunai.
· Pemegang saham yang mempunyai tagihan terhadap perseroan tidak dapat menggunakan hak tagihannya sebagai kompensasi kewajiban penyetoran atas harga sahamnya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pendirian Perseroan terbatas benar-benar terbuka. Sehingga dalam Pasal 29 ayat (1) disebutkan "Perseroan dilarang mengeluarkan saham untuk dimiliki sendiri". Larangan tersebut juga berlaku bagi anak perusahaan terhadap saham yang dikeluarkan oleh induk perusahaannya (ayat 2).
Ketentuan yang demikian merupakan salah satu konsekuensi dunia usaha dan perusahaan dalam memeasuki Era Pasar Bebas. Hal ini mengidealkan akan semakin memacu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi semua itu terpulang pada bagaimana Sumber Daya Manusia Indonesia.
Dalam era perdagangan bebas, dipastikan persaingan akan sangat ketat, oleh karena itu undang-undang ini mengantisipasi adanya kemungkinan penggabungan perseroan. Pasal 102 ayat (1) disesebutkan "Satu perseroan atau lebih dapat menggabungkan diri menjadi satu dengan perseroan yang telah ada atau meleburkan diri dengan perseroan lain dan membentuk perseroan baru".
Begitu pula masalah pengambilalihan perseroan dalam Pasal 103 ayat (1) "Pengambilalihan perseroan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan". Ayat (2) menyebutkan "Pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan melalui pengambilalihan seluruh atau sebagian besar saham yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut".Dalam hal pembubaran perseroan, undang-undang mengatur dalam pasal 117 ayat 1, sebagai berikut : "Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan atas:a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan kuat perseroan melanggar kepentingan umum;b. permohonan 1 (satu) orang pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah;c. permohonan kreditor berdasarkan alasan:1) perseroan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau2) harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya setelah pernyataan pailit dicabut; ataud. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam Akta Pendirian perseroan. Beberapa Kasus Yang Harus DiperhatikanDalam perkembangannya, agaknya kita belum siap menghadapi pasar bebas tersebut. Indikasi ini diperlihatkan oleh ketidaksiapan SDM, daya saing dunia usaha kita yang sangat rendah dan beberapa bentuk ketidaksiapan lainnya termasuklah dalam mengantisipasi dampak ekonomi global sebagai konsekuensi dari keikutsertaan kita dalam pasar bebas tersebut. Seperti timbulnya krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis ekonomi yang berlarut-larut. Jika kesiapan kita sudah mapan, krisis moneter akibat turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, mungkin tidak menjelma menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan yang kini masih dirasakan terutama oleh masyarakat pada tataran kelas ekonomi mengenah ke bawah. Pada saat itu fundamental ekonomi makro kita ternyata rentan terhadap gejolak eksternal (ekonomi luar), cadangan devisa kita terbatas, pertumbuhan ekonomi lebih dominant disumbang oleh konsumsi dan aktivitas ekonomi lebih didominasi oleh investor asing (investasi jangka pendek) yang mudah sekali exit dari pasar (Indonesia).Pengalaman menunjukkan bahwa pada tahun 1998 lalu, dimana pada saat itu kondisi ekonomi dan politik Indonesia sangat tidak kondusif, sehingga menyebabkan tidak sedikit pelaku ekonomi/investor asing dalam mengamankan diri dan asetnya, exit atau kembali ke negara asalnya. Mereka pulang tentu membawa dolar, yang menyebabkan stok dolar berkurang, harga dolar AS pada saat itu meningkat/naik mencapai titik nadir sampai Rp 18.000-an per dolar AS. Akibat kesigapan pemerintah Indonesia dapat mengendalikan kondisi, sehingga kondisi kondusif kembali dan dengan serta merta nilai dolar As mulai turun dan sampai normal pada kisaran Rp 8.000-an sampai Rp 9.000-an per dolar AS.Tidak hanya itu bentuk ketidaksiapan kita, dunia usaha kita ternyata belum siap menghadapi perdagangan bebas ini. Indikator ini diperlihatkan masih rendahnya daya saing dunia usaha Indonesia dalam menghadapi perdagangan pasar bebas terutama AFTA yang sebentar lagi bergulir. Menurut laporan World Bank (2000) bahwa ekspor barang Indonesia berada pada posisi ke 26 dengan pangsa pasar dunianya hanya 10 persen. Kemudian menurut The World Competitiveness Report 2001, bahwa dari 49 negara yang disurvei, Indonesia berada diperingkat paling rendah. Di tahun 1999 daya saing dunia usaha Indonesia berada pada peringkat 37, kemudian turun menjadi peringkat 44 pada tahun 2000 dan turun kembali menjadi peringkat 49 pada tahun 2001 lalu. Bila dibandingkan dengan India saja Indonesia jauh tertinggal, apalagi dibandingkan dengan Amerika Serikat, Singapura dan negara lain (lebih lengkap lihat World Economic Forum- WEF 2001).Selama ini dunia usaha Indonesia terkesan cukup eksis, mereka eksis karena mereka mendapat berbagai proteksi dari pemerintah dalam berbagai bentuk, subsidi, bantuan, termasuklah campur tangan yang berlebihan. Namun dengan bergulirnya perdagangan bebas, proteksi itu tidak bisa lagi dipertahankan, dunia usaha Indonesia dituntut mempunyai daya saing tinggi, mandiri, efisien dan produktif.Dengan realitas yang demikian, keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas dan peraturan lainnya, yang mengatur dunia usaha tidak akan memiliki fungsi yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain : Pertama, undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada hanya berfungsi secara procedural, tidak taktis dan tidak strategis, serta tidak berorientasi pada pengembangan. Peraturan-peraturan yang demikian akan tidak menyelesaikan masalah terutama apabila dihadapkan pada persoalan baru yang berskala internasional. Kedua, komitmen pemerintah terhadap kemajuan dunia usaha sangat rendah. Hal ini mengakibatkan pemerintah melalui program-program dan kebijakannya tidak memikirkan strategi pengembangan dunia usaha. Kasus Gula-BerasIndonesia sempat disibukkan oleh kasus gula dan beras impor yang gencar masuk Sumsel. Akibat gula dan beras impor tersebut, gula dan beras lokal kalah bersaing, gula impor harganya lebih rendah dari gula lokal. Harga gula impor Rp 2.800/Kg (harga sampai ke pelabuhan bom baru Rp 2.100 ditambah pajak Rp 700) jauh dibawah harga gula lokal Rp 2.930/Kg. Dengan demikian, sehingga PG Cinta Manis terpaksa merugi dengan menjual gula lokal berkisar Rp 2500-Rp 2550 per Kg (Sripo, 23/9/2002). Begitu juga dengan beras impor. Sebagai contoh berasal India bisa masuk ke pasar dengan harga Rp 1.900/Kg (Kompas, 9/10/2002). Dengan relatif lebih murahnya harga dan relatif baiknya kualitas gula dan beras impor tersebut, maka wajar saja kalau gula dan beras impor tersebut digandrungi oleh konsumen. Bahkan bukan tidak mungkin produsen memanfaatkan fenomena ini (misalnya beras India tersebut) dengan mengganti karung dengan merek beras lokal, produsen berasal local bisa menjual beras impor dari India tersebut dengan harga beras lokal yang lebih mahal, agar memperoleh keuntungan yang lebih besar.Bila dicermati, selain daya saing usaha harus lebih tinggi, faktor manajemen dan atau efisiensi usaha juga memegang peranan penting untuk menguasai pasar bebas/pasar dunia. Seperti dalam produksi gula selama ini ternyata masih terjadi kesenjangan. Kebutuhan gula nasional mencapai 3,2 juta sampai 3,3 juta ton per tahun, sedangkan produksi nasional antara 1,8 juta ton sampai dengan 1,9 juta ton per tahun, sehingga sisanya masih harus dipenuhi oleh gula impor (Sripo, 24/9/2002).Kemudian selain unit usaha dalam sekala besar, unit usaha dalam skala kecil dan menengah (UKM) pun ternyata belum siap juga dalam menghadapi pasar bebas tersebut. Masih banyak produk yang dihasilkan oleh unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang tidak memiliki standar mutu, tidak memenuhi syarat layaknya suatu produk untuk dikonsumsi, tidak terdaftar di Dinas Kesehatan/di Dinas Perdagangan dan Industri, tidak mempunyai kemasan dan tidak jelas kandungan yang ada dalam produk tersebut. Trade-OffDalam kerangka ini, kita tidak bisa bertindak dengan serta merta melarang produk impor agar tidak bertebaran di daerah ini. Dikhawatirkan, pihak luar negeri menganggap kita tidak konsekuen, dikhawatirkan akan melanggar HAM. Jauh sebelumnya kita telah mengikrarkan ikut serta dalam pasar bebas, namun setelah ada dampak negatif/karena kita belum siap lantas kita emosi, buru-buru membatasi produk luar masuk.Kalau demikian, terjadi trade-off. Disatu sisi kita sudah menyatakan suka atau tidak suka, siap atau tidak siap Indonesia harus ikut dalam perdagangan bebas. Di sisi lain ketika kita diterpa oleh maraknya dampak negatif dari perdagangan bebas yang sudah mulai terasa sekarang, kita kewalahan, kita emosi dan kita seakan tidak mau menerima dampak negatif tersebut. Boleh saja kita membatasi impor, namun tidak dengan melarang mentah-mentah, tetapi dengan jalan pengendalian produk impor (dengan standar yang jelas) dan mencegah penyelundupan produk impor. Dalam hal ini yang harus kita lakukan adalah berbenah, membangun stok barang yang cukup dan berupaya berproduksi secara baik dan efisien.Trade-off tersebut diperparah pula oleh adanya tindakan kita yang seakan-akan tidak peduli, tidak mendukung dan tidak mau tahu dengan kelemahan dunia usaha kita, kelemahan pelaku ekonomi kita. Seperti adanya kebijakan menaikkan harga pupuk di tingkat petani. Beberapa waktu yang lalu PT Pusri secara diam-diam menaikkan harga pupuk urea menjadi Rp 1.090 atau naik Rp 40/Kg di tingkat gudang PT Pusri. Padahal menurut peraturan yang menaikkan harga pupuk adalah pemerintah bukan produsen pupuk. KESIMPULANPerdagang bebas, terutama AFTA sebentar lagi akan bergulir, tidak ada pilihan lain, kecuali bagaimana mempersiapkan kembali dunia usaha kita agar dapat bersaing dan atau mempunyai daya saing tinggi dan memperbaiki manajemen usaha serta pengendalian stok yang memadai, sehingga produk pasar dunia yang membludak tidak berpengaruh pada produk pasar dalam negeri.Keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas relative dapat untuk mengantisipasi perkembangan dunia usaha dan perusahaan. Akan tetapi harus mempersiapkan SDM untuk meningkatkan daya saing usaha. Menurut Tulus Tambunan (2001) paling tidak ada beberapa langkah dalam meningkatkan daya saing; menciptakan lingkungan legislatif yang stabil, membangun struktur ekonomi yang luwes/kokoh, melakukan investasi dalam infrastruktur tradisional dan teknologi, mendorong terjadinya tabungan swasta dan investasi domestik, melakukan keterbukaan terhadap perdagangan internasional, meningkatkan transfaransi administrasi/birokrasi, memelihara keterkaitan antara tingkat upah, produktivitas dan perpajakan dan menyeimbangkan perekonomian regional dan global untuk menjamin terciptanya kemakmuran.Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah meningkatkan dan atau memperbaiki kualitas SDM dalam rangka menggali dan mengoptimalkan SDA yang kita miliki dan adanya upaya untuk menggiring agar lembaga/institusi yang terlibat langsung dalam perdagangan bebas ini, seperti dinas perdagangan dan industri, Kadin, dan lainnya lebih kreatif dan berbuat optimal serta yang terakhir adalah memperbaiki sikap mental kita terutama dalam rangka menerima perubahan-perubahan positif yang terjadi dan mengeliminir dampak negative akibat globalisasi tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

CHANG, H.-J. and I. GRABEL (2004). Reclaiming development: An alternative economic policy manual, London and New York, Zed Books.
MADELEY, J. (2001). Hungry for Trade; How the Poor Pay for Free Trade, London & New York, Zed Books.

MADELEY, J. (2002). Food for All, London and New York, Zed Books.

ROSSET, P. M. (2006). Food is Different: Why We Must Get the WTO Out of Agriculture, London and New York, Zed Books.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang

DATA ELEKTRONIK :
· Forum Pembaca KOMPAS] Penegak Hukum "Dagang Perkara"Agus HamonanganWed, 18 Jun 2008· BENNY K HARMAN, dalam http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/19/00440424/penegak.hukum.dagang.perkara
· Globalisasi Sarat dengan Ketidakadilan, dalam http://www.757390globalisasi.htm/
· http://opinibebas.epajak.org/
· http://www.selamatkan-indonesia.net/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=29&Itemid=62
· http://www.antara.co.id/terms/
· journal\item\50\Quo_vadis_Hukum_Dagang_di_Indonesia_
· mengenal globalisasi proteksi perdagangan dalam http://dhycana.wordpress.com/2008/05/02/mengenal-globalisasi-proteksi-perdagangan/
· Kaidah Kerjasama, Perdagangan Bebas dan Globalisasi dalam http://akaldankehendak.com/?author=1

[1]Lihat konsideran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas

Tidak ada komentar: